13
*) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan,
Vol. 6, No. 1 (2017)
dapat lolos melewati permukaan membrane
dengan mudah dalam berbagai tekanan.
Sehingga PAH akan menjauhi permukaan
membrane dan masuk ke dalam sirkulasi
retentat.
Pada penelitian Guo dkk. (2011), senyawa
naphthalene yang merupakan salah satu
senyawa pada PAH menunjukkan rejeksi
yang lebih kecil dibandingkan phenanthrene
dan
fluoranthene
yang
disebabkan
ukurannya yang kecil sehingga sulit untuk
tertangkap
pada
membrane.
Untuk
meningkatkan rejeksi pada PAH diperlukan
penambahan muatan pada umpan dengan
menambahkan KCl dan CaCl
2
sebanyak
masing-masing 0,2 mS/cm. Dengan adanya
penambahan KCl dan CaCl
2
, umpan yang
tercampur dengan PAH akan memiliki
muatan sehingga membrane yang bersifat
negatif dapat menangkap senyawa PAH
pada umpan. Bertambahnya muatan ionik
mengakibatkan bertambahnya pula rejeksi
pada PAH.
d. Campuran
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada
umpan
campuran,
membrane
dapat
menyisihkan PAH sebesar 75,43% pada pH
7. Menurut Pawar (2015), pH pada umpan
merupakan salah satu faktor abiotik yang
penting dalam menentukan hasil degradasi
PAH. Naseby dan Lynch (1997) menyatakan
bahwa hal ini dipengaruhi oleh absorbsi
antara PAH dengan larutan pada umpan.
Pada kondisi optimum tersebut, PAH dapat
terabsorbsi pada larutan yang terkandung
CsCl dan Sr(NO
3
)
2
. Dengan terabsorbsinya
PAH pada larutan mengandung cesium dan
stronsium
menyebabkan
terbentuknya
molekul kompleks yang dapat tertahan di
permukaan
membrane.
Pembentukan
molekul kompleks antara PAH, cesium, dan
sronsium disebut senyawa organometalik.
Crabtree (2009) menyampaikan bahwa
senyawa organometalik dapat terbentuk dan
terdiri dari setidaknya satu ikatan antara
atom karbon dari senyawa organik dan unsur
logam termasuk golongan alkali, alkali
tanah, transisi, dll. Akan tetapi hasil rejeksi
pada unsur PAH pada kondisi pH 4
mengalami penurunan. Pada umpan tunggal
PAH pH 4, rejeksi yang dihasilkan sebesar
35,52%, namun pada umpan campuran
unsur PAH yang dapat direjeksi sebesar
24,48% sedangkan pada kondisi pH<5
kelarutan
PAH
berkurang
sehingga
terbentuk makromolekul. Penurunan ini
disebabkan adanya residu asam nitrat yang
terbentuk
dari
pengaturan
pH,
reaksiterbentuknya asam nitrat seperti
dijelaskan pada subbab 4.6 Hasil Rejeksi (b)
Stronsium.
Asam
nitrat
berpotensi
menghidrolisis pori membrane, sehingga
makromolekul PAH yang terbentuk pada
kondisi pH<5 dapat lolos melewati
membrane.
Pada unsur stronsium memiliki peningkatan
rejeksi pada umpan campuran dibandingkan
umpan tunggal stronsium pada kondisi pH 4
dengan menghasilkan rejeksi sebesar 84,8%.
Hal ini disebabkan karena adanya ikatan
ionik pada umpan campuran antara cesium,
stronsium,
dan
membrane
sehingga
dihasilkan makromolekul dan dihasilkan
rejeksi yang lebih besar pada umpan
campuran. Sedangkan unsur cesium tetap
memiliki hasil yang optimum dengan
menghasilkan rejeksi sebesar 100% pada
kondisi pH asam, netral, dan basa.
3.7
Karakteristik
Membran
Nanofiltrasi NF270
3.7.1 Karakteristik Struktur Kimia
Membran
Untuk mengetahui morfologi fouling pada
permukaan membrane NF270 dilakukan uji
menggunakan Fourier Transorm Infrared
Spectroscopy (FTIR). Uji ini berfungsi
untuk mengetahui gugus fungsi organik
yang terbentuk pada membrane. Sampel
yang diuji merupakan membrane sebelum
fltrasi (fresh membrane), umpan larutan
14
*) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan,
Vol. 6, No. 1 (2017)
tunggal PAH 10 mg naphthalene/L dengan
pH 7, dan umpan campuran dari 1000 µg
Cs/L, 1000 µg Sr/L, dan PAH 10 mg
naphthalene/L dengan pH 7. Dari hasil uji
FTIR akan menunjukkan adanya peak
(puncak) pada panjang gelombang tertentu
yang mengindikasikan adanya pembentukan
suatu gugus fungsi pada membrane NF270
hasil filtrasi dengan umpan larutan tunggal
PAH 10 mg /L dan umpan campuran 1000
µg Cs/L, 1000 µg Sr/L, dan PAH 10 mg/L.
Hasil uji FTIR ketiga sampel tersebut dapat
dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Hasil Uji FTIR
Pembacaan panjang gelombang pada hasil
FTIR mengacu pada Stuart (2004). Pada
membrane yang telah difiltrasi dengan
umpan tunggal berupa PAH, menunjukkan
terbentuknya deposisi gugus aromatik pada
panjang gelombang 692,77 cm
-1
dengan
gugus berupa C-H “oop”, pada panjang
gelombang 1294,90 cm
-1
dengan gugus C-N
stretch berupa amino aromatik, pada panjang
gelombang 1490,16 cm
-1
dengan gugus C-C
stretch in-ring.
Sedangkan pada membrane yang telah
difiltrasi
dengan
umpan
campuran
mengindikasikan deposisi gugus aromatic
pada peak panjang gelombang 694,83 cm
-1
dan 753,44 cm
-1
berupa gugus C-H “oop”,
pada peak panjang gelombang 1367,65 cm
-1
dengan gugus C-N stretch berupa amino
aromatic, dan peak panjang gelombang
1540,83 cm
-1
berupa gugus C-C stretch in-
ring.
3.7.2 Karakteristik Morfologi Membrane
Analisis menggunakan Scanning Electron
Microscopy
(SEM)
menunjukkan
karakteristik
morfologi
permukaan
membrane dari sampel yang dianalisis. Foto
SEM hasil filtrasi membrane NF270 dapat
menunjukkan perilaku fouling dari masing-
masing foulant. Hasil SEM membrane
NF270 sebelum filtrasi (fresh membrane)
disajikan pada Gambar 4.11 (a), sedangkan
untuk pembandingnya digunakan membrane
NF270 hasil filtrasi dari umpan campuran
1000 µg Cs/L, 1000 µg Sr/L, dan PAH 10
mg/L yang telah diuji pada kondisi pH 7.
Gambar 11 Hasil Uji SEM pada
Membrane NF270 (a) Fresh Membrane
Perbesaran 1000x (b) Fresh Membrane
Perbesaran 3000x (c) Membrane setelah
Filtrasi Umpan Campuran Perbesaran
3000x (d) Membrane setelah Filtrasi
Umpan Campuran Perbesaran 7500x
Gambar 11 menunjukkan perbandingan
antara membrane sebelum filtrasi (fresh
membrane) dengan membrane setelah
filtrasi umpan campuran. Dari perbandingan
tersebut, Gambar 11 (b) menunjukkan
adanya deposisi cesium dan stronsium pada
permukaan membrane. Pada pH 7, kondisi
rejeksi umpan campuran menghasilkan
100% untuk cesium dan stronsium,
sedangkan PAH menghasilkan rejeksi
sebesar 75,43%. Cesium dan stronsium yang
(a)
(b)
(c)
(d)