JURNAL
KONSEP DIRI PRIA METROSEKSUAL KOTA SURABAYA
(Studi Deskriptif tentang Konsep Diri & Stigma Masyarakat terhadap Pria
Metroseksual di Kota Surabaya)
Marza Aprilia Hasandra
071211433026
ABSTRAK
Menjadi pria metroseksual memiliki resiko tersendiri seperti upaya menjaga penampilan
serta interaksi yang nyaman dengan orang lain. Pria metroseksual kota Surabaya yang
berasal dari kaum ekonomi kelas atas mengkonsepsikan dirinya sebagai pria
metroseksual. Berbelanja, selain memberikan kepuasan tersendiri juga membutuhkan
biaya sehingga mendorong pria metroseksual guna mempertahankan gaya hidupnya.
I.1 Latar Belakang
Pria metroseksual semakin mengaburkan batas-batas nilai sosial pria terdahulu.
Mereka menilai bahwa penampilan merupakan hal yang utama dalam hidupnya. Studi
yang dilakukan oleh Nielsen, 2004 menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan
memiliki kepedulian yang sama terhadap penampilan meskipun pria cenderung untuk
tidak mengikuti tren fashion. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa 19% pria
yang mengikuti trend fashion sedangkan 56% setuju bahwa memakai pakaian yang
menarik dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka (marketing.co.id, 7 Juli 2011).
Kebiasaan pria metroseksual yang senang merawat diri menjadikan mereka dianggap
berbeda dengan pria pada umumnya.
Studi mengenai gaya hidup pria saat ini dijelaskan dalam riset oleh Euro RSCG
pada tahun 2004 yang berjudul “ The Future of Men”. Riset tersebut meyatakan bahwa
laki-laki modern urban mulai nyaman mengekspresikan sisi femininnya. Riset tersebut
semakin memperkuat fenomena pria yang memiliki kebiasaan dan perilaku yang
dulunya berorientasi wanita kini juga diadopsi oleh pria.
Keberadaan gaya hidup tersebut menimbulkan kesan modern. Para pria yang
tinggal di kota besar menjadi bagian penikmat dari layanan salon atau klinik kecantikan
yang mulai menjamur di kota-kota besar, yang sebelumnya merupakan tempat para
wanita memanjakan diri. Mereka sangat menikmati aktivitas berbelanja, seleksi mode,
dan melakukan eksperimen seperti potongan rambut serta produk perawatan. Terdapat
penelitian yang dilakukan oleh salah satu biro pemasaran ternama yaitu MarkPlus&Co
yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2003 mengenai fenomena gaya hidup
metroseksual. Survey tersebut melibatkan 400 responden pria dari ekonomi kelas atas
(berpengeluaran lebih dari Rp. 5 juta perbulan), dengan rentang usia 26-55 tahun.
Dalam survey tersebut ditemukan bahawa 35% dari responden mengaku bahwa aktivitas
belanja dijadikan sebagai aktivitas belanja sebagai rekreasi. Mereka tidak lagi
berbelanja berbelanja sesuai dengan kebutuhan seperti pria konvensional.
Kebiasaan pria metroseksual merupakan fenomena menarik karena mereka
memiliki karakteristik yang sama dalam berbelanja dengan kaum wanita. Pria yang
termasuk dalam golongan ini untuk memberi gambaran bahwa keberadaan mereka
berbeda dengan pria heteroseksual maupun generasi sebelumnya. Kehadiran pria
metroseksual menimbulkan stigma atas kebiasaan yang dinilai feminin. Gaya hidup
metroseksual yang dijalani oleh pria metroseksual mengakibatkan terbentuknya label
homo/gay dari lingkungannya. Gaya hidup tersebut juga menghambat proses belajar
kaum pria metroseksual yang masih berstatus pelajar. Terhambatnya proses belajar
disebabkan karena aktivitas-aktivitas mereka seperti perawatan tubuh di salon,
nongrong dengan teman-temannya dan berbagai aktivitas lainnya di luar perkuliahan
(Ardly, 2014).
II Rumusan Masalah
- Bagaimana konsep diri pria metroseksual Kota Surabya?
- Bagaimana stigma masyarakat terhadap pria metroseksual di Kota Surabaya?
III. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu :
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh
jawaban atas fokus penelitian yang telah disusun oleh peneliti yakni konsep diri pria
metroseksual dan stigma masyarakat terhadap pria metroseksual di Kota Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Memperoleh informasi seluas-luasnya mengenai konsep diri pria metroseksual
dan stigma masyarakat terhadap pria metroseksual.
2.
Memperoleh pemahaman sedalam-dalamnya mengenai bagaimana konsep diri
pria metroseksual dan stigma masyarakat terhadap pria metroseksual di Kota
Surabaya.
3.
Mengetahui respon pria metroseksual dalam menanggapi stigma yang diberikan.
IV. Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini diharapkan agar memberi manfaat kepada kalangan
akademisi khusunya mahasiswa dan masyarakat umum. Adapun manfaat-manfaat
tersebut adalah:
1.
Bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa dapat memperkaya wawasan
mengenai konsep diri pria metroseksual serta stigma masyarakat terhadap pria
metroseksual. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi penelitian
selanjutnya.
2.
Bagi masyarakat umum penelitian ini memberikan informasi lebih mendalam
mengenai konsep diri dan stigma pria metroseksual. Selain itu memberi pengetahuan
kepada pria metroseksual mengenai stigma masyarakat terhadap dirinya.
V. Kerangka Teori
Teori Stigma Erving Goffman
Sebelum masuk dalam alur pemikiran Goffman mengenai stigma, alangkah
baiknya jika kita membahas konsepsi mengenai self dan identitas. Karena kerja stigma
didukung oleh dua konsep pemikiran tersebut. Baik self maupun identitas akan sangat
mempengaruhi hasil dari kerja stigma yang akan dijelaskan sebagai berikut dalam
skema teoritik :
Dari skema tersebut dapat dijelaskan keterkaitan self dan identity atas
terciptanya stigma. Pertama dimulai dari pemaknaan diri sendiri pada konsep self,
dimana individu memaknai dirinya sendiri melalui proses interaksi dengan lingkungan
disekelilingnya. Kemudian yang kedua pembentukan identitas, dimana pembentukan
identitas dapat terjadi berasal dari pemaknaan individu atas dirinya sendiri (self identity)
dan yang kedua adalah pemaknaan yang berasal dari orang lain (personal identity).
Identitas menurut setting sosialnya dibagi menjadi dua yaitu virtual identity dan actual
identity. Dua konsep ini hampir sama dengan konsep Goffman yaitu Dramaturgi.
Dimana virtual identity sebagai panggung dalam sedangkan actual identity sebagai
panggung luar. Konsep pembentukan identitas ini merupakan konsep pokok lahirnya
pemikiran tentang stigma, berikut dibawah ini merupakan penjelasan konsep pokok
stigma :
I. Self
Goffman mendefinisikan self sebagai sebuah kode yang membuat pemahaman
atas seluruh aktifitas individu dan memberikan dasar untuk mengorganisirnya. Self ini,
yang dapat dipahami tentang indvidu dengan melihat pada tempat yang ia ambil dalam
organisasi di aktivitas sosialnya, sebagai penegasan atas pernyataan sikap individu
tersebut. Individu, bagaimanapun juga dipaksa oleh masyarakat untuk menunjukkan
sebuah bentuk “ia dapat bekerja” atau dengan kata lain berusaha untuk membuat dirinya
diterima oleh masyarakat (Lemert dan Branaman, 1997: liiii).
Self sangat berhubungan dengan pemikiran seorang individu, yaitu bagaimana ia
memandang dan memaknai dirinya, termasuk kontribusi pemikiran dari orang lain yang
membentuk sebuah pemikiran atas “kedirian” seorang. Hal ini berhubungan dengan
pengalaman dan interaksi yang dialami individu dengan orang lain dalalm kehidupan
sosialnya. Ketika seorang berinteraksi, maka bukan tidak mungkin terjadi proses
„mempengaruhi‟ atau pengkonstruksian dari orang lain atas individu tersebut.
II.Identitas
Goffman dalam pemikirannya mengajukan dua konsep tentang identitas, yaitu
personal identity dan self identity. Personal identity biasanya terdapat pada
pembingkaian tentang pengalaman individu oleh orang lain dan bukan oleh individu itu
sendiri, tetapi pada bagaimana ia diidentifikasi oleh orang lain.personal identity
menurut Goffman mengarah pada berbagai karakteristik dan berbagai fakta yang
diletakkan atau dipasangkanpada pikiran individu oleh orang lain. Goffman dalam hal
ini memberi contoh bagaimana foto dari seorang individu dapat menampilkan image
tertentu dalam pemikirang orang lain, kemudian seseorang individu yamng memiliki
pengetahuan akan mendapat tempat yang istimewa dalam lingkungan pertemanannya
karena ia dinilai oleh orang dilingkungannya sebagai orang yang berpengetahuan dan
layak mendapat tempat istimewa (Goffman, 1963: 56).
III.Stigma
Penelitian ini merujuk pada pemikiran dari Erving Goffman. Goffman
menjelaskan tentang apa itu yang disebut dengan stigma. Goffman mendefinisikan
stigma sebagai situasi yang tidak menerima penerimaan utuh. Goffman menggunakan
konsep stigma untuk menggambarkan suatu proses yang dimana orang-orang tertentu
secara moral dianggap tidak berharga atau dengan kata lainstigma merupakan sikap,
perlakuan, atau perilaku masyarakat yang memandang perilaku tertentu sebagai suaatu
hal yang tidak pantas untuk ditampilkan. Sehingga dengan demikian orang yangg
menampilkan perilaku tersebut akan mendapat sikap, penilaian, atau perlakuan dan
sebagian masyarakat yang lain sebagai orang yang secara moral tidak berharga.
Goffman secara rinci jika stigma yang dimunculkan dari masyarakat terhadap suatu
individu akan mengakibatkan dua kemungkinan atau dua akibat. Kemungkinan pertama
jika individu mengafirmasi atau menerima stigma tersebut, tak jarang stigma itu bisa
membuat individu itu tak bisa mengenali dirinya sendiri. Hal itu bisa terlihat karena
individu akan terus bertanya-tanya apakah benar stigma yang diarahkan itu benar-benar
mencerminkan dirinya. sedangkan kemungkinan kedua, individu yang mendapat stigma
mampu menjelaskan melalui argumentasi atau tindakan lainnya jika stigma yang
diarahkan kepada individu tersebut ternyata tidak benar (Goffman: 1963).
VI Metode Penelitian
VI.1 Tipe Penelitian
peneliti menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu menurut peneliti memilih
tipe penelitian deskriptif yaitu bagaimana peneliti menjelaskan sebuah isu, fenomena,
maupun fakta sosial yang telah terjadi dengan mencari data-data dari media massa
maupun berupa gambaran umum mengenai pria metroseksual.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk memberikan gambaran
mengenai suatu fenomena secara terperinci dan memusatkan perhatian pada masalah
yang bersifat aktual, yang pada akhirnya memberikan pemahaman yang lebih jelas
mengenai fenomena yang diteliti, yaitu dengan memberikan gambaran dan fakta-fakta
yang terjadi. Di dalam penelitian ini mengurai sejauh mengenai konsep diri kaum pria
metroseksual.
VI.2 Setting Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan mengambil setting di Surabaya. Pemilihan
setting didasari karena Surabaya merupakan kota yang menyediakan banyak fasilitas
hiburan seperti mall dan butik, salon dan sebagainya yang dapat menunjang kebutuhan
pria metroseksual. Selain itu pria metroseksual sangat mudah ditemui di kota Surabaya.
VI.3 Sasaran Peneltian
Dalam hal ini peneliti menetapkan karakteristik subjek penelitian yaitu pria usia 20
– 35 tahun dengan penampilan menarik dan memiliki ciri-ciri pria metroseksual. Pada
usia ini, para pria metroseksual mempunyai tugas perkembangan yang berhubungan
dengan orang lain, antara lain bekerja atau berkarier, menikah, membentuk keluarga dan
memelihara serta mempertahankan pernikahan (Hurlock, 1999). Awal penentuan
informan dilakukan dengan cara sudah diketahui sebelumnya stigma yang mereka dapat
dari lingkungan sekitar. Kemudian untuk menentukan informan-informan selanjutnya
juga ditentukan sendiri dan memperoleh informasi dari informan sebelumnya dan dari
teman-teman.
VI.4 Teknik Pemilihan Informan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menetukan subjek
penelitian atau informan adalah dengan cara purposif. Cara purposif adalah
informan ditentukan oleh peneliti dengan berdasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Subjek yang dipilih dengan cara purposif ini merupakan
informan yang diharapkan berkompeten dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemilihan informan
antara lain: pertama, informan harus memiliki waktu yang luang untuk
pewawancara; kedua, informan memiliki kemampuan dan kesediaan untuk
menceritakan pengalaman dan perasaan mereka di masa lalu dan masa kini dalam
kata-kata; ketiga, pertimbangan bahwa informan adalah termasuk “jenis” orang
yang menarik perhatian peneliti (Bogdan dan Taylor, 1992: 172-173).
VII. ANALISIS DATA
VII.1 Self pada Pria Metroseksual
Pada konsepsi self ini pria metroseksual juga mempunyai keinginan untuk menunjukkan
bahwa mereka merupakan pria normal seperti pada umumnya dan tidak memiliki
disorientasi seksual. Mereka hanya pria yang menjaga penampilan dan tetap menyukai
lawan jenis. Penampilannya yang terkesan feminin bukan menjadi patokan seseorang
untuk menilai dirinya.
Jika di analogikan pada (semua informan) adalah mereka memaknai bahwa diri
mereka adalah seorang pria yang sangat menjaga penampilannya dengan baik, akan
tetapi (informan) tidak bisa menutup kemungkinan jika apa yang mereka yakini itu
mendapat pemaknaan yang berbeda dari lingkungan disekitar mereka tinggal. Hal itu
tidak bisa dipungkiri mengingat manusia itu selau berinteraksi dengan manusia lainnya.
Melalui proses interaksi tersebut bukan tidak mungkin mereka akan mengalami proses
„mempengaruhi‟ dari orang sekitar mereka.
Terdapat pula informan yang menkonsepsikan dirinya sebagai pria metroseksual
karena gambaran kesuksesan yang tercermin dari penampilannya serta barang yang
digunakan. Meskipun demikian, terdapat informan yang sadar bahwa pemaknaan diri
mereka mempunyai perbedaan dengan pendapat maupun anggapan yang muncul
disekeliling mereka. Mereka sebagai pria metroseksual juga mengetahui apa yang
menyebabkan perbedaan ini muncul. Pada temuan data telah diketahui jika mereka
sebagai pria metroseksual dihadapkan dengan persoalan berupa nilai-nilai yang sudah
berkembang di masyarakat bahwa pria tidak seharusnya berdandan dan membeli banyak
pakaian layaknya perempuan.
Menurut Goffman, self sangat bergantung pada bagaimana serta dimana individu
itu berada. Ketika seorang individu hidup di lingkungan yang sesuai dengan dirinya,
maka mereka akan menganggap bahwa gaya hidup yang dijalaninya merupakan hal
yang wajar.
Sedangkan seorang individu yang hidup di lingkungan yang tidak sependapat
dengan dirinya, maka mereka akan menganggap bahwa gaya hidup yang dijalaninya
seharusnya tidak perlu dilakukan. Hal tersebut mempengaruhi pola pikir individu
tersebut (pria metroseksual) bahwa kemungkinan orang lain akan mempresepsikan
sesuatu mengenai dirinya.
Dengan kata lain kondisi lingkungan telah mempengaruhi bagaimana self dalam
diri pria metroseksual terbentuk. Mereka memahami bahwa diri mereka sebagai pria
yang tidak seperti umumnya, karena mereka merasa bahwa lingkungan sekitar yang
tidak sependapat dengan yang diyakini oleh pria metroseksual sehingga pria
metroseksual menganggap bahwa orang lain mungkin akan mempresepsikan dirinya
mengenai hal yang bersifat negatif.
VII.2 Identity pada Pria Metroseksual
Konsep identity ini merupakan pengembangan konsep self. Jika pada konsep self
dijelaskan tentang bagaimana subyek memaknai dirinya sendiri melalui suatu proses
interaksi, sedangkan konsep identity ini sangat menekankan pemaknaan subyek
berdasarkan lingkungan disekelilingnya. Goffman juga membagi identitas menjadi dua,
yaitu self identity dan personal identity. Self identity sangat berkaitan erat dengan
identitas internal. Jika dianalogikan pada penelitian ini adalah dimana pria metroseksual
memaknai dirinya sendiri dan penjelasan tersebut telah dijelaskan di sub bab
sebelumnya.
Pada konsep personal identity, dapat diketahui tentang konsep-konsep identitas
eksternal yaitu dimana subyek atau individu mengetahui tentang identitas dirinya
sendiri berdasarkan pemaknaan dari orang lain. pemaknaan dari orang lain tersebut
mampu menghadirkan warna baru bagi diri subyek. Dari penjelasan tersebut maka dapat
diketahui bagaimana pria metroseksual memaknai dirinya sendiri berdasarkan
pemaknaan dari orang disekitarnya. Pemaknaan tersebut didapatkan ketika lingkungan
pria metroseksual memberi respon yang buruk terhadap penampilannya.
Sedangkan pada konsep virtual identity dan actual identity, fakta lapangan
menunjukkan bahwa pria metroseksual benar-benar ingin diakui sebagai pria yang
hanya dipresepsi anggapan saja. Walaupun sosok pria metroseksual selalu dianggap
tidak seperti pria pada umumnya, tetapi mereka tetap berperilaku sesuai dengan yang
masyarakat harapkan.
VII.3 Stigma pada Pria Metroseksual
Konsep stigma pada penelitian ini dimana pria metroseksual yang
terdiskualifikasi dari penerimaan sosial yang utuh atau situasi yang tidak menerima
penerimaan utuh. Dengan kata lain, konsep stigma untuk menggambarkan suatu proses
yang dimana pria metroseksual secara sosial dianggap berbeda.
Konsep sesuai dengan hasil dari temuan data, dimana pria metroseksual selalu
dianggap penampilannya tidak seperti pria pada umumnya yang cenderung tidak
mempedulikan penampilan. Perkembangan zaman yang seharusnya diikuti dengan
berkembangnya pola berpikir, rupanya sebagian masyarakat belum bisa menerima
bahwa pria yang berpenampilan menarik merupakan suatu kelebihan tersendiri. Bentuk
stigma tersebut yaitu melalui ejekan, dianggap sebagai pria feminin. selain itu informan
juga mendapat stigma sebagai pria yang mengalami disorientasi seksual (homoseksual)
dari temannya.
Pria metroseksual juga sempat mengalami perilaku diskriminasi akibat
penampilannya. Hal itu dikarenakan tercerabutnya nilai-nilai sosial yang dimiliki oleh
pria metroseksual sehingga perilaku diskriminatif dapat terjadi. Akan tetapi perialku
diskriminatif yang terjadi bukan-lah perlakuan yang sangat menyudutkan posisi pria
metroseksual. Bentuk dari perilaku diskriminatif tersebut adalah informan sempat
menjadi pusat perhatian lantaran penampilannya yang terlalu mencolok bagi seorang
pria. Sehingga para pria metroseksual masih dapat melakukan aktivitas secara leluasa.
Jika dianalogikan pada tema penelitian ini maka dapat diketahui jika pria
metroseksual menerima dan mengafirmasi setiap stigma yang selalu dituduhkan pada
mereka, maka kemungkinan besar mereka akan tidak mengenali siapa sebenarnya
mereka. Indikatornya adalah pria metroseksual tersebut akan muncul pertanyaan dalam
dirinya, apakah mereka ini buruk seperti apa yang telah dituduhkan kepada mereka.
Sedangkan kemungkinan yng kedua adalah ketika pria metroseksual tidak menerima
atau menolak setiap stigma yang masuk dalam kehidupan mereka. Jika pria
metroseksual menolak stigma tersebut maka mereka benar-benar mengerti siapa diri
mereka sebenarnya. Indikatornya adalah pria metroseksual mampu menjelaskan kepada
masyarakat mengenai argumen-argumennya jika mereka itu tetaplah pria normal
layaknya pria pada umumnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Goffman
memberikan „ruang‟ agar interaksi ini tidak terjadi hanya satu arah, akan tetapi terjadi
dua arah, yaitu, antara masyarakat umum yang memberikan stigma dengan pria
metroseksual yang cenderung mendapat stigma.
VIII. Kesimpulan
Pria metroseksual yang bekerja di sektor formal mengkonsepsikan dirinya
sebagai pria metroseksual yang tidak hanya berpenampilan menarik namun juga sukses
dalam mengejar karirnya. Hal tersebut karena menjadi pria metroseksual membutuhkan
modal yang tidak sedikit sehingga tidak semua pria mampu menjadi sosok pria
metroseksual. Sedangkan pria yang bekerja di sektor informal mengkonsepsikan dirinya
sebagai pria normal seperti pada umumnya. Hal tersebut karena penghasilan yang
tergolong sedikit dan masih menggantungkan hidupnya dengan orang tua. Sedangkan
pria metroseksual yang masih berstatus sebagai pelajar menganggap bahwa konsep
dirinya sebagai pria metroseksual hanya sebatas kesenangan saja. Alasannya karena
aktivitas yang dilakukan oleh pria metroseksual yakni belanja dan perawatan merupakan
aktivitas untuk memenuhi kesenangan pribadi.
Stigma yang diberikan masyarakat terhadap pria metroseksual juga bermacam-
macam. Pria metroseksual sempat mendapat stigma sebagai pria yang penampilannya
tidak maskulin atau dianggap sebagai pria feminin. Stigma tersebut didapat akibat
kebiasaan mereka dalam merawat diri dan juga belanja yang dianggap tidak sepatutnya
dilakukan oleh laki-laki. Selain itu pria metroseksual juga mendapat stigma sebagai pria
yang mengalami disorientasi seksual. Stigma tersebut didapat karena penampilannya
yang dianggap terlalu modis dan terkesan berlebihan dibandingkan dengan pria pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Goffman, Erving, 1963a, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity,
Englewood Cliffs, NJ: Prentica Hall; NY: Touchston Books, Simon and Schuster.
Bogdan, Robert dan Steve Taylor, 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif:
Suatu Pendekatan Fenomenologi terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Surabaya: Usaha
Nasional
Kartajaya, H. 2006. Marketing in Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ardly, Reza Maulana, 2014, Konstruksi Mahasiswa Terhadap Gaya Hidup
Metroseksual Studi pada Mahasiswa Metroseksual di Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Airlangga, Skripsi Jurusan Sosiologi, Universitas Airlangga
Mark Simpson. Here Come the Miror Man: Why the Future is Metrosexual
Metrosexualantaranews.com-pria pesolek surabaya habiskan Rp. 3jt Per-Bulan untuk
Kosmetik
theage.com.au – Rise of the Metrosexual
salon.com – Meet the metrosexual
kasandraassociates.com – Bila si Dia Suka Berdandan
Gaunlett, David, 2002, Media, Gender, and Identity, London
Conseour, Alison Amanda, 2004, Factor Influencing the Emergence of the
Metrosexual, The University of Georgia
Janowska, Karolina, 2008, Metrosexual Man’s Shopping Habbits – study of the
modern men’s clothing brand selection
Cheng, Shean Fan, Cheng Soon Ooi, Ding Hooi Ting, Factors Affecting
Consumption Behaviour Of Metrosexual Toward Male Grooming Products,
Monash
University Malaysia
Dostları ilə paylaş: |