Konflik Sosial dan Rasisme



Yüklə 87,95 Kb.
tarix02.10.2017
ölçüsü87,95 Kb.
#2972

005 KONFLIK SOSIAL & RASISME

Hadipurnomo

Rasisme adalah suatu pandangan bahwa umat manusia dibagi dalam ras-ras dan bahwa anggota suatu ras lebih rendah (inferior) dari ras lain. Biasanya, sikap itu juga termasuk pandangan bahwa rasnya lebih tinggi (superior) dari yang lain. Orang yang berpandangan dan mempraktekkan rasisme disebut rasis.

Mereka menganggap bahwa anggota dari rasnya secara mental, fisik, moral, atau budaya-nya lebih tinggi dari ras lain. Karena seorang rasis mengganggap dirinya superior, dan mereka percaya mereka memiliki hak-hak khusus dan previlege.

Padahal setiap kelompok, atau juga individu, tentu berbeda. Sebab tidak ada satu pun bukti ilmiah yang mendukung pandangan adanya superioritas dan inferioritas terebut. Para ilmuwan sosial menekankan bahwa tidak ada dua kelompok yang memiliki lingkungan yang sama. Hasilnya, beberapa kelompok yang berbeda adalah hasil dari lingkungan yang berbeda. Para ilmuwan tersebut telah lama memperdebatkan makna penting dari keturunan dan lingkungan dalam menentukan perbedaan-perbedaan tersebut. Tetapi kebanyakan ilmuwan percaya bahwa faktor keturunan dan lingkungan berinteraksi secara kompleks.

Sebagai tambahan, banyak ahli antropologi sekarang yang menolak gagasan bahwa umat manusia dapat dibagi-bagi ke dalam ras-ras yang ditentukan ber-dasarkan biologis.




Rasisme itu luas dan menyebabkan banyak persoalan, walaupun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung pandangan tersebut. Superioritas dan inferioritas telah digunakan untuk membenarkan diskriminasi, segregasi, kolonialisme, perbudakan, dan kadang-kadang bahkan menimbulkan genocide (pembunuhan masat).

Rasisme adalah salah satu bentuk prasangka. Banyak orang cenderung memahami pengalaman dan perilaku mereka sendiri sebagai suatu yang normal.
Mereka mungkin berprasangka atau takut terhadap orang-orang yang berperilaku berbeda dari mereka. Ketika perbedaan-perbedaan fisik dan non-fisik tersebut kasat-mata - seperti warna kulit atau kepercayaan agama - kepercayaan itulah menjadi lebih kuat. Sikap tersebut dapat membawa pada pandangan bahwa orang yang terlihat berbeda tersebut adalah inferior. Banyak orang justru tidak mencari aspek kesamaan dalam kelompok lain. Juga, mereka tidak mengakui adanya perbedaan tersebut kecuali kesamaan kualitas yang dianggap baik seperti kelompok-nya sendiri.
Rasisme di negeri-negeri dimana bangsa kulit putih membentuk sebuah mayoritas diarahkan terutama oleh mayoritas kulit putih untuk menentang kelompok etnik minoritas. termasuk kulit hitam, Indian-Amerika, Meksiko-Amerika, Aborijin, dan Asia. Minoritas tersebut telah mengalami diskriminasi dalam beberapa bidang perumahan, pendidikan, dan pekerjaan.

Di Afrika Selatan, sebuah minoritas kulit putih bisa mengontrol pemerintah beberapa tahun lamanya.

Mereka memaksakan hukum di bidang perumahan, pendidikan, dan pekerjaan terhadap mayoritas non-kulit putih.

Kebijakan tersebut pernah dikenal dengan istilah “apartheid” di Afrika Selatan.


Rasisme individual dan institusional.
Para ahli sosiologi sering membedakan antara rasisme individual dan institusional. Rasisme individual merujuk terutama pada prasangka dan tingkah laku diskriminatif dari individu kulit putih terhadap kulit hitam dan kelompok-kelompok minoritas lain. Semua ini didasarkan pada anggapan adanya superioritas dan inferioritas.


Rasisme institusional, di pihak lain, merujuk pada kebijakan komunitas, sekolah, bisnis, dan kelompok dan organisasi yang membatasi kesempatan kelompok minoritas. Rasisme institusional mungkin atau telah dibentuk untuk mempraktek-kan diskriminasi. Bagaimanapun juga, ia akan memproduksi hasil-hasil yang jahat. Contoh, di sebuah perusahaan mungkin membayar upah untuk lulusan SMA bagi seorang tingkat sarjana.



Sejarah.
Bentuk-bentuk rasisme telah ada sejak awal sejarah manusia. Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, contoh, Yunani dan Romawi kuno memperbudak rakyat yang mereka anggap inferior. Yahudi telah lama menjadi korban aniaya dalam hal agama dan budaya. Ratusan tahun setelah Marco Polo melakukan perjalanan ke Cina di tahun 1.200-an, orang Cina menganggap orang-orang Barat sebagai "kelompok orang kulit putih yang barbar".

Antara tahun 1700-an hingga awal 1900-an, Eropa berhasil mengendalikan sebagian besar benua Asia dan Afrika. Para kolonialis membenarkan dominasinya dengan alasan bahwa ras kulit hitam, coklat dan kuning harus diberadabkan oleh "superioritas" kulit putih. Misi peradaban tersebut dikenal dengan "beban orang kulit putih." Sepanjang Imperium Inggris, supermasi kulit putih dijalankan di sebagian besar bidang kehidupan. Di India, contoh, ada sedikit percampuran sosial antara pribumi india dengan pejabat-pejabat kulit putih. Di Australia. Kulit putih menganggap kelompok Aborijin sebagai inferior. Pada pertengahan 1900-an, banyak kolonialisme berakhir. Tetapi pengaruhnya di dunia masih berlanjut.

Dari tahun 1600-an hingga pertengahan 1800-an banyak orang kulit putih di Amerika Serikat menggunakan kelompok kulit hitam sebagai budak. Perbudakan adalah penyebab utama terjadinya Perang Sipil di Amerika (1861-1865).

Para budak dibebaskan sepanjang tahun 1860-an, tetapi pengkotakkan dan diskriminasi terhadapnya masih terus berlangsung sampai era Martin Luther.

Peraturan telah dikeluarkan untuk memerangi rasisme, dan meningkatkan kesamaan serta kesempatan dalam masyarakat multiras. Seperti Undang-Undang yang menetapkan bahwa peraturan-peraturan yang dikriminatif tidak syah dalam hal warna kulit, nasionalitas, atau etnik di segala bidang, seperti penyediaan barang-barang dan jasa, pekerjaan, dan pendidikan. Undang-Undang yang melarang hasutan kebencian rasial.

Di Inggris undang-undang hubungan rasial untuk pertama kali dikeluarkan tahun 1960­an, mengikuti datangnya imigran dari Caribia, India, Pakistan, dan Bangladesh.

Peraturan Hubungan Rasial tahun 1976 membentuk Komisi bagi Kesamaan Ras.

Dewan-dewan hubungan komunitas beroperasi hingga tingkat lokal.

Pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang didesain untuk memberikan kesamaan kesempatan bagi semua warga kulit hitam dan kelompok-kelompok lain.

Genocida adalah hasil kebencian rasial yang paling keji dalam sejarah di dunia, contoh adalah masa Adolf Hitler, penguasa Nazi Jerman, yang menekankan bahwa Jerman adalah milik "ras Aria yang superior," dan kaum Yahudi dan orang-orang non Arya lainnya adalah inferior. Pandangan Hitler akan superioritas Jerman dan kebenciannya terhadap Yahudi dihasilkan dalam kebijakan-kebijakan Nazi yang membawa pembunuhan berjuta-juta orang Yahudi selama tahun 1930-an hingga 1940-an.


Rasialisme Anti-Cina, apa benar ada ?
Rasialisme anti-Cina terbesar dan pertama kali terjadi pada 1740 jelas hasil permainan penguasa Kompeni alias VOC. Sumber-sumber otentik yang diper-gunakan Jan Risconi dalam disertasinya Sja'ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina (1935) cukup jelas. Sayang disertasi yang membahas syair berbahasa Melayu aksara Arab ini ditulis dalam bahasa Belanda sehingga untuk masa sekarang ini agak sulit menjadi sumber rujukan.


Kasus 1740 adalah rasialisme anti-Cina yang dilakukan pihak Kompeni, dari pihak kekuasaan orang Barat/Belanda. Rasialisme anti-Cina sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi percama kali di Solo, pusat produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-eksistensi damai antara "Pribumi" dan Cina berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa itu kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik etikanya yang dapat menerima terjadinya kebangkitan pada "Pribumi".

Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi tidak berbeda dengan politik masa mengambang zaman Orde Baru.
Seperti halnya peristiwa pada 1740, juga di sini tangan penguasa bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang Cina terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya.

Pada pihak Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang berarti.

Unsur­-unsur ini pernah ditulis dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namun didukung penguasa kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu. Kerusuhan rasial anti-Cina juga terjadi 4 tahun kemudian di Kudus, 1916. Meskipun kejadiannya jauh lebih besar, meliputi seluruh kota industri rokok ini, disertai pembunuhan di berbagai tempat, namun sebagai peristiwa sebenarnya hanya merupakan episode kedua dari yang sebelumnya.

Beruntunglah bahwa seorang bernama Tan Boen Kim telah membukukan peristiwa itu dengan judul Peroesoehan di Koedoes, 1918.


Menurut ahli antropologi Usman Pelly konflik etnis adalah awal konflik dan disintegrasi Nasional di era Reformasi.

Akar permasalahan yang menyulut kerusuhan ­etnis yang merebak menjelang era reformasi (Mei 1998) di berbagai kota Indonesia tidak jauh berbeda, yaitu kesenjangan ekonomi yang kronis dan akumulatif yang dikemas oleh faktor-faktor etnis dan agama. Ke­senjangan sosial ekonomi tersebut disebabkan adanya perbedaan akses terhadap sumber-sumber daya dan ekonomi, rekayasa sosial dan perlakuan diskriminatif pemerintahan rezim Orde Baru dalam kesempatan berusaha dan mengem­bangkan diri.




Kesenjangan sosial ekonomi dan perlakuan diskriminatif atas dasar 'suka' atau 'tidak suka' ini, dalam rangka mencipta`class forming' yang dipaksakan, telah menyebabkan kelompok tertentu merasa diperas dan dipinggirkan serta diperlaku-kan tidak adil. Sementara kelompok lain, secara tidak wajar menikmati hak-hak istimewa (privileges) dan bersikap angkuh dan represif. Faktor-faktor etnis dan agama merupakan faktor kemasan (pembingkai) dari atribut kesenjangan sosial ekonomi yang menimbulkan perlawanan kelompok yang merasa diperas dan dipinggirkan itu, sehingga potensi konflik antarkelompok yang berseteru semakin besar dan tajam.


Dengan kata lain, kesenjangan antarkelompok etnis tersebut menjadi terstruktur dan sangat hirarkis. Dengan demikian pula, potensi konflik dan perlawanan antarkelompok dengan mudah dapat diorganisir dan digerakkan. Dengan kemasan etnis, kesetiakawanan (solidaritas) mudah dibangkitkan, dan dengan kemasan agama pengesahan (legitimasi) dan landasan sakral akan mudah pula didapatkan. Tidak ada sasaran tunggal dalam kerusuhan etnis di Indonesia, karena dalam setiap kasus kerusuhan, pelaku (aktor) yang terlibat dan sasaran kerusuhan akan berbeda. Tulisan ini memperlihatkan bahwa masyarakat keturunan Cina bukanlah sasaran tunggal dalam kerusuhan etnis di In­donesia.
Dengan konstatasi pemikiran di atas dapat dimaklumi apabila tabrakan antar kelompok etnis yang terjadi bukan karena kelompok etnis tertentu ingin kembali menegakkan superioritas etnis (ethnocentric) dalam pengertian yang sempit atau memisahkan diri dari kehidupan masyarakat majemuknya (separatism). melainkan tabrakan itu merupakan suatu 'protes budaya' terhadap ketidak adilan, kecurangan dan penindasan yang diderita oleh kelompok-­kelompok etnis tertentu. Perlakuan curang yang menimbulkan konflik ini telah menghancurkan tatanan sosial yang telah ditegakkan bersama. Dengan demikian, tabrakan dalam kerusuhan etnis itu adalah indikasi kuat terhadap hancurnya tatanan sosial masyarakat majemuk setempat, serta tuntutan untuk membangun kembali tatanan sosial yang baru atas kebersamaan, keadilan dan solidaritas organik yang sehat.

(David 1989; Berner 1997; 1998).


Dewasa ini dalam rangka membangun masyarakat 'Orde Reformasi' perlu dilakukan kajian balik yang mendala terhadap 'apa yang salah' dalam kehidup pluralistik bangsa kita terutama di zaman Orde Baru. Bukankah kehidupan pluralistis yang sehat merupakan salah satu pilar utama dalam usaha membangun masyarakat madani yang demokratis?
Kerusuhan di Medan dan Jakarta
Kerusuhan etnis di kedua kota ini meledak menjelang lengsernya Presiden Suharto (Mei 1999). Seperti juga di Jakarta, di Medan kerusuhan anti Cina ini menjalar tidak hanya ke pinggir kota, tetapi juga ke kota-kota kecil sekitar kedua kota besar ini. Namun, kerusuhan di Jakarta dianggap paling 'kolosal', balk dari segi korban jiwa maupun dari segi kerugian material.

Akar konflik etnis di Medan tidak berbeda jauh dari Jakarta, yaitu kesenjangan ekonomi dan perlakuan diskriminatif antara kelompok pribumi dan non-pribumi (WNI-Keturunan Cina). Seperti juga di Jakarta, tidak ada tabrakan antar sesama etnis pribumi, walaupun jumlah kehadiran kelompok etnis di Medan hampir merepresentasikan kelompok-kelompok etnis yang besar yang terdapat di Indonesia Intensitas konflik dan durasi bentrok dalam kerusuhan massal di Sumatera Utara relatif lebih kecil, dan karena itu pula dapat lebih cepat diatasi dan dipadamkan. Penanggulangan kerusuhan di Medan yang dapat dilakukan lebih cepat dari Jakarta setidaknya didukung oleh tiga faktor sebagai berikut :




  • model kerusuhan antara kelompok pri dan non pribumi di Medan telah menjadi ‘klasik', karena itu masyarakat mudah mengenal dan mengidentifikasinya secara cepat dan tepat. Keadaan ini menyebabkan para provokator banyak kehilangan inisiatif dan momen untuk mendapatkan alat pemicu guna me-nyalakan kerusuhan itu lebih maksimal;

  • kerjasama para pemuka masyarakat, pemerintahan, dan aparat terutama para pemuka kelompok masyarakat etnis, adat dan agama cukup baik dan tangguh. Mereka cukup banyak berperan meredakan kemungkinan gejolak kerusuhan yang berlarut-larut, sehingga dapat menghindarkan korban jiwa dan kerugian material yang tidak perlu; dan

  • daya akomodatif, kekuatan moral, dan independensi masyarakat di kota Medan masih cukup kuat untuk menerima perbedaan, tantangan dan hasutan dari luar.

Di samping ketiga faktor tersebut, faktor lain yang secara 'kebetulan' cukup penting untuk membatasi kerusuhan etnis di Medan ketimbang di Jakarta adalah karena perbedaan perilaku sosio-ekonomi, terutama antara kelompok the have dan the have not (kaya dan miskin, elit dan non elit). Pada umumnya gaya hidup orang Medan cendrung ke arah introvert (melihat ke dalam), dibandingkan dengan orang Jakarta yang extrovert (melihat ke luar). Penampilan orang Medan (kecuali non­-pribumi) walaupun telah 'binnen' (sukses secara material), tetapi tetap 'biasa-biasa saja' atau tidak terlalu menyolok dan menimbulkan kecemburuan sosial. Sebaliknya, orang Jakarta yang kaya seperti orang-orang dari kelompok non-pri di Medan, sering 'pamer' yang berlagak serba 'wah', serta terkesan sombong dan angkuh.

Sikap ini sering mengundang kecemburuan sosial dan menjengkelkan orang banyak. Kelompok etnis Cina di kedua kota ini sejak zaman kolonial telah didisain untuk menduduki papan menengah dalam piramida sosial masyakat Indonesia. Tragisnya, kedudukan struktural ini telah dikukuhkan kembali oleh pemerintah rezim Orde Baru, mereka berfungsi sebagai penyangga terhadap kelompok-kelompok etnis pribumi, guna mempertahankan kepentingan poltik dan ekonomi rezim yang berkuasa.

Oleh karena itu, krisis kepercayaan yang melanda rezim Orde Baru telah menempatkan kelompok etnis keturunan Cina sebagai 'sasaran tembak' keberingasan massa.


Peristiwa di Ambon yang klasik
Walaupun terjadi pergeseran aktor konflik yang semula antara kelompok etnis Bugis-Buton-Makasar (BBM) dengan Ambon Kristen menjadi antara Ambon Islam dengan Ambon Kristen tetapi dari segi sosio-historis, peristiwa kerusuhan di Ambon ini seakan menampilkan kembali pertarungan klasik dari dua komunitas agama (Ambon Islam dan Kristen) yang telah dimulai sejak pra-kolonial di abad ke-17 sampai 18 yang lalu.

Pada masa itu, bentrokan kedua komunitas ini telah diprovokasi Portugis dan Belanda, yang berusaha keras mendapatkan monopoli perdagangan rempah (lada, cengkeh dan pala). Dewasa ini, pertarungan kedua kelompok itu, seakan berulang kembali di bumi Maluku itu. Ironisnya, sejak tahun 1970-an monopoli perdagangan rempah (terutama cengkeh) yang semula dipaksakan oleh pemerintah kolonial, kemudian diambil alih oleh pemerintah rezim Orde Baru, dengan dalih untuk pengembangan industri (terutama industri rokok) di Pulau Jawa. Monopoli ini menurut M.Jusuf Kalla dari KADIN Sulsel yang berbicara dalam Seminar Nasional HIPIIS di Ujung Pandang 1984, telah menyebabkan para petani Maluku jatuh miskin. Selama puluhan tahun. Menurut JK, selama puluhan tahun industri rokok di pulau Jawa disubsidi oleh hasil keringat petani Maluku. Kemiskinan rakyat Maluku ini telah berdampak negatif terhadap keseimbangan pembagian pekerjaan dalam masyarakat Maluku pada umumnya, dan Ambon khususnya.


Tabrakan dalam pembagian pekerjaan.
Sebagian besar petani Ambon beragama Kristen yang disebut sebagai kelompok Sarane (Nasrani). Pelaku bisnis papan bawah dan menengah yang beragama Islam mereka sebut sebagai kelompok Sa'lam (Islam). Mereka banyak bekerjasama dengan orang Bugis­, Buton dan Makasar (BBM) serta orang Am­bon keturunan Arab. Di birokrasi pemerintahan dan ABRI waktu itu lebih banyak didominasi oleh orang Ambon yang beragama Kristen. Pembagian okupasi ini seakan sebuah 'pembagian lapangan pekerjaan' yang telah mentradisi dan 'dipertahankan' antara kelompok sarane dan sa'lam sejak daerah Maluku jatuh ke tangan Belanda. Kedua kelompok sarane dan sa'lam ini hidup rukun dan damai dalam ikatan adat yang disebut Pela-Gandong (persaudaraan seketurunan).

Kemiskinan yang diderita kelompok petani Ambon karena monopoli pengusaha-­pengusaha rezim Orde Baru, telah menjatuhkan prestise (harkat) kelompok ini di hadapan kelompok okupasi lainnya, terutama pedagang dan pegawai negeri. Keadaan ini telah menggoncangkan pembagian kerja antar­kelompok tradisional di Ambon. Generasi muda mereka yang memiliki pendidikan mulai menghindar diri dari bidang pertanian. Mereka kemudian bergulat memperebutkan posisi baru tidak hanya di birokrasi pemerintahan dan ABRI, tetapi juga di bisnis papan menengah dan atas, atau di perguruan tinggi negeri.


Di samping kesepakatan dalam pembagian lapangan pekerjaan tersebut, terdapat pula kesepakatan awal dalam pembagian wilayah domisili kelompok-kelompok etnis asal Ambon seperti tertera dalam dokumen Larvul Ngaba abad ke-18.

Dalam dokumen ini diatur lokasi (wilayah domisili) kelompok-kelompok asal orang Ambon yang telah disepakati jauh sebelum Belanda menguasai Ambon (1886). Karena itu setiap perluasan (ekspansi) satu kelompok ke wilayah domisili kelompok lain akan segera menimbulkan masalah. Tawuran antarkelompok adalah tawuran antar wilayah domisili. Begitu juga pergeseran pejabat dalam birokrasi pemerintahan, ABRI atau Perguruan Tinggi akan menjadi sangat sensitif, karena dianggap akan merombak keseimbangan kekuasaan antara kelompok Islam dan Kristen.




Karena itu pula pemerintah pusat seakan selalu 'diundang sebagai penengah untuk mengatasinya. Dapat dimaklumi, apabila pemerintah pusat tetap berkeinginan untuk mengendalikan atau “memelihara' potensi konflik ini.

Pemerintal pusat di zaman Orde Baru telah melakukan politik 'belah bambu': 'ada yang diangkat dan ada yang injak. Yang diangkat adalah kelompok yang dipercaya atau yang akan dijadikan kawan, sedang yang injak adalah sebaliknya, yang tidak disenangi atau yang dianggap 'lawan'.
Dalam hubungan ini, untuk daerah Maluku kelompok RMS dan simpatisan-nya adalah kelompok yang tidak disenangi atau “lawan” potensial yang berbahaya. Sebagian besar pengikut RMS adalah para petani dan orang•orang yang berpendidikan di birokrasi pemerintahan (kolonial dan pasca kolonial; yang beragama Kristen (kelompok sarane) dalam strategi pemerintah rezim Orde Baru,

kelompok ini akan ditempatkan pada papan bawah, sedang kelompok-kelompok Ambon (sa'lam) dan pendatang (BBM),ditempatkan pada papan menengah piramida, dan akan menjadi penyangga (buffer) masyarakat Maluku kelompok bawah.


Analisis di atas dapat memberikan petunjuk awal untuk dapat ke luar dari krisis disintegrasi yang dihadapi masyarakat Ambon khususnya dan Maluku umumnya dalam membangun tatanan baru, antara lain sebagai berikut :
* membebaskan rakyat dari segala bentuk monopoli pusat dan rekayasa sosial atau social class engineering (yang terselubung atau tidak), baik dalam bidang pertanian, perdagangan, birokrasi pemerintahan dan kehidupan sosial-­budaya;
* menata kembali division of labor dalam perimbangan yang adil dan proporsional antara sesama masyarakat Ambon dan masyarakat pendatang, serta mengembangkan lapangan kerja baru;
* menghidupkan kembali kesepakatan bersama terhadap wilayah kawasan domisili kelompok-kelompok keturunan asal Ambon seperti dalam dokumen L’arvul Ngabal yang mengatur lokasi permukiman utama orang-orang asal Ambon sebelum kedatangan Belanda (1886).
Semua ini merupakan langkah awal untuk membangun kembali tatanan sosial atas dasar kebersamaan dalam keanekaan dan solidaritas organik yang sehat.
Peristiwa Sambas-Singkawang
Berbeda dengan peristiwa Ambon, struktur kerusuhan berdarah Sambas-Singkawang merupakan perseteruan antara kelompok pendatang (orang Madura) dan pribumi setempat sebagai 'tuan rumah' yaitu Dayak, Melayu dan Cina yang mengaku juga sebagai tuan rumah bagi orang Madura. Orang Madura (lebih kurang 10% dari populasi kabupaten Sambas) memandang orang Melayu terutama Dayak dengan pandangan steriotip negatip, sebagai orang pemalas, bodoh dan pengotor (banyak di antara orang Dayak yang masih hidup dalam kepercayaan animisme, walaupun sebagian besar beragama Kristen.


Sebaliknya, orang Melayu, Dayak dan Cina juga punya steriotip terhadap orang Madura sebagai orang yang kasar, angkuh dan tidak dapat dipercaya. Dalam delapan kali kerusuhan berdarah sebelum Pemilu yang lalu, orang Melayu masih bersikap netral, tetapi dalam peristiwa kerusuhan berdarah bulan Mei 1999 yang lalu, orang Melayu langsung berhadapan dengan orang Madura (walaupun sama-sama pemeluk Islam), kemudian didukung oleh orang Dayak dan Cina.


Kasus orang Madura di Kalimantan Barat sangat unik, mereka berbeda dengan pendatang lainnya, seperti kelompok etnis Jawa dan Sunda. Walaupun sama-sama transmigran, orang Jawa dan Sunda mampu menyesuaikan diri dengan penduduk pribumi setempat. Menurut penelitian Usman Pelly th. 1987 yang dilakukan didaerah pedalaman kabupaten Sambas (Duginang dan Romo), keserasian sosial antara orang Dayak (suku bangsa Minso) dan orang Melayu dengan orang Jawa dan Sunda di kedua daerah itu telah berkembang kearah kerjasama, akomodatif, akuturasi dan asimilatif.


Dalam bentuk awal telah tumbuh kehidupan simbiotik dalam bentuk pertukaran teknologi pertanian yang saling menguntungkan. Orang Jawa mengajar orang Dayak dan Melayu tentang bagaimana mengembangkan teknologi pertanian sawah dengan memakai bajak dan pengairan sederhana. Orang Dayak dan Melayu mengajarkan orang Sunda dan Jawa menanam lada dan tanaman keras lainnya. Di samping itu telah terjadi pula perkawinan antar-etnis walaupun masih dalam frekuensi yang relatif kecil.


Memang dalam kehidupan majemuk ini, masih sering terjadi konflik dan ketidak-sepakatan, tetapi masalah-masalah tersebut tetap dapat diselesaikan atas dasar keterbukaan, saling menghormati, dan musyawarah.

Kasus bentrokan orang Madura dengan orang Dayak dan Metayu di Kalimantan Barat harus dilihat dalam konteks yang lebih makro, terutama dalam kaitan politik class forming rezim Orde Baru, yaitu menempatkan orang Madura sebagai kandidat kelompok menengah dalam piramida sosial masyarakat baru di Kalimantan Barat.

Orang Madura sebagai salah satu kelompok migran, tidak hanya jumlah populasinya yang cukup besar, tetapi jangkauan penetrasi kehadirannya dalam kehidupan sosial-politik di Kalimantan Barat jauh lebih luas jika dibandingkan dengan kelompok etnis pendatang lainnya.

Mereka tidak hanya mengembangkan diri dalam bidang pertanian, tetapi juga dalam pasar ekonomi dan politik (seperti menjadi anggota DPRD setempat). Di samping itu, mereka dikenal memiliki keuletan dan keterampilan yang lebih tinggi dari rata-rata transmigran lainnya.

Walaupun demikian, seperti telah dikemukakan, kehadiran orang Madura ini bukan tanpa cacat sosial (social stigma). Orang dari pulau garam ini dikenal sangat temperamental (penaik darah), kasar dan agresif. Cacat ini sangat berpengaruh dalam interaksi sosial, terutama dalam kehidupan sehari-hari dengan penduduk pribumi setempat.


Kendati demikian, ternyata kombinasi antara peluang yang terbuka dan karakteristik orang Madura ini telah mengantar mereka dalam jangka waktu yang relatif singkat menjadi kelompok dominan (unggul) di kawasan Kalimantan Barat. Tragisnya, posisi strategis orang Madura ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah pusat sebagai penyangga dalam usaha melestarikan kekuasaan dan kepentingan bisnis rezim Orde Baru. Orang Melayu, Dayak dan Cina sebagai penduduk asli menjadi terpojok, frustrasi, tidak berdaya dan menjadi penonton. Dengan cara ini pemerintah pusat dapat leluasa menguasai dan menguras kekayaan alam mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.



Orang Madura sebagai penyangga (buffer)
Untuk membangun kelompok elit (papan atas) dari suatu piramida masyarakat di luar Pulau Jawa, diperlukan kelompok penyangga (buffer) yang dapat dipercaya. Terutama, untuk menghadapi kelompok papan bawah, yang terdiri dari kelompok-kelompok pribumi setempat.


Pemerintah pusat rezim Orde Baru, selalu merasa bahwa ancaman terhadap kekuasaannya akan datang dari kelompok yang berbeda budaya, bukan dari kelompok yang berbeda ideologi atau agama.

Dari paradigma ini, dapat dipahami bahwa dalam piramida sosial yang sedang dibangun itu orang Dayak dan Melayu di Kalbar ini akan ditempatkan pada papan bawah, sedang sebagai penyangga (papan menengah) akan diisi oleh orang Madura. Mengapa bukan orang Cina Kalimantan Barat?

Ternyata Pemerintah pusat Orde Baru memiliki pengalaman yang pahit dengan kelompok ini dalam peristiwa Paraku (pemberantasan komunis), di pedalaman Kalimantan Barat.

Tambahan pula, mereka mampu berintegrasi dengan masya-rakat pribumi setempat dengan balk dan memiliki jaringan hubungan ekonomi dengan Cina Serawak (Malaysia). Oleh karena itu, kelompok Cina Kalimantan Barat dianggap dapat menjadi musuh potensial bagi pemerintah pusat di masa depan.
Sungguhpun secara keseluruhan seperti yang diakui oleh Siswono Yudohusodo, mantan Mentranskop zaman Suharto kepada Newsweek­ bahwa kerusuhan berdarah di Kalimantan Barat adalah warisan dari 30 tahun pemerintahan Suharto yang berkeinginan keras untuk menggunakan transmigrasi sebagai mekanisme orang Jawa guna menguasai masyarakat luar Jawa.
Mengasah kapak perang
Lain lagi Maggie Ford, reporter Newsweek melaporkan kekhawatiran para diplomat asing di Jakarta, bahwa orang-orang Dayak di Sambas-Singkawang akan meng-hidupkan kembali tradisi 'mengayau', memburu kepala manusia yang dianggap musuh bersama dengan upacara sakral meminum darah dari satu tempayan (pass the red bowl). Upacara ini mirip dengan 'mengasah kapak perang suku-suku Indian di Amerika pada masa lalu, sebagai tanda peperangan besar akan dimulai.
Sasaran kerusuhan etnis: siapa lagi selain Cina?
Kelompok keturunan Cina di Indonesia sering dianggap sebagai sasaran tunggal kerusuhan massal (etnis) di Indonesia, seperti yang terjadi di Medan dan Jakarta. Kesan untuk menggeneralisir sasaran kerusuhan etnis ini­ terutama yang disiarkan pers luar negeri pada permulaan gerakan reformasi-ternyata tidak benar.

Dalam berbagai kasus dalam skala besar hanya kerusuhan massal di Medan dan Jakarta saja etnis keturunan Cina yang menjadi sasaran.




Dalam kerusuhan Am­bon, yang menjadi sasaran pertama adalah or­ang-orang Bugis-Buton-Makasar (BBM), dan sesama orang Ambon (Islam dan Kristen) sendiri, sementara orang Cina tidak terusik sama sekali.

Dalam peristiwa kerusuhan Sambas-­Singkawang yang menjadi sasaran adalah orang Madura, sedang orang Cina di sana, malah mendukung orang Melayu dan Dayak melawan orang Madura.
Begitu juga kerusuhan etnis yang terjadi beberapa tahun sebelum reformasi. Umpamanya, dalam kerusuhan di Pulau Sumbawa, orang Bali yang menguasai dunia bisnis dan birokrasi pemerintah setempat, telah menjadi sasaran amukan orang Sumbawa.
Dalam peristiwa keruhan etnis di Dili (1995), orang Bugis Makasar yang menguasai perdagangan pasar di kota itu telah menjadi sasaran pengusiran orang Timor-Leste. Semua kios dan toko orang Bugis musnah terbakar.


Siapakah yang bernasib seperti orang Cina di Indonesia?

Mereka itu adalah orang Bugis-Makasar, Buton, Bali, Madura, dan Am­bon Islam. Kelompok-kelompok etnis ini, termasuk etnis keturunan Cina tentunya,

adalah kelompok yang memang didisain oleh pemerintah rezim Orde Baru dalam untuk menjadi penyangga (buffer) dalam piramida sosial yang sedang dibangun.


Konflik Sosial dan kemajemukan (prulalism)
Yang anda baca di bawah ini adalah karya tulis seorang antropolog alumni UI, Mering Ngo asal Pontianak, Kalimantan Barat. disunting oleh Hadipr.

Kemajemukan dan Keanekaragaman di Kalimantan
Suku Dayak adalah istilah kolektif yang dikenakan pihak luar sejak 1757 terhadap berbagai kelompok asli yang bukan Islam di Kalimantan / Borneo (Sarawak-Sabah-Brunei Darussalam). Istilah ini tidak tepat karena tak sedikit kelompok Dayak yang Islam seperti Orang Suru' di hulu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, atau Orang Bakumpai, di Sungai Barito, Kalimantan Tengah-Selatan. Jika seseorang di Kalbar mengaku "Melayu", tidak serta-merta la berasal dari kelompok Melayu dari Semenanjung Malaya atau Sumatera karena boleh jadi ia merupakan keturunan kelompok Dayak yang telah beragama Islam. Sedemikian pula, bagi kelompok-kelompok Dayak di Kalbar, Islam telah menjadi identitas kesukubangsaan yang baru, yakni "Melayu" atau "turunan Melayu" guna menghindari rasa malu kalau la mengaku sebagai Dayak, yang masih ber-konotasi terbelakang, malas, bodoh, primitif, animisme, suku terasing, kanibal-isme, dan seterusnya. Di Kalteng, hal tersebut relatif tak terjadi. Karena itu, orang-orang Ngaju di Kalteng tetap mengaku sebagai Dayak walaupun menganut Islam.
Dari sudut sejarah migrasi, struktur sosial, dan corak mata pencarian, setidaknya ada empat tipologi kelompok Dayak di Kalimantan/Borneo. Pertama, kelompok yang berlatar budaya berburu dan mengumpulkan hasil hutan non-kayu, terikat dalam kelompok-kelompok kecil (band), dan struktur kepemimpinan yang berdasarkan senioritas dan kecakapan. Contohnya, Orang Bukat dan Punan di Kalbar, Kaltim, dan Sarawak, Malaysia Timur, yang kebanyakan mendiami bagian terhulu dari sungai dan hutan di Kalimantan/Borneo. Kedua, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering dan perbukitan, terikat dengan rumah panjang, dan struktur kepemimpinan yang egaliter. Kelompok-­kelompok etnis ini mendiami wilayah-wilayah bagian hilir dari sebuah daerah aliran sungai (DAS). Contohnya, Orang Iban, Kantu, Mualang, Selako/Salakau, Banana, Pompangtn, Kanayatn di Kalbar, atau Orang Lotud, Rungus, Kadazan, di Sarawak dan Sabah, Malaysia Timur. Ketiga, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering, perbukitan, dan basah, dan terikat dengan rumah panjang atau rumah tunggal (dominan saat ini), dan mengenal sistem pelapisan sosial secara ketat. Umumnya kelompok-kelompok etnis ini mendiami bagian hilir-tengah daerah aliran sungai, baik berlahan kering maupun lahan basah lembah. Misalnya, Orang Kayan dan Tamambaloh di Kalbar, atau Orang Kenyah, Kayan, Bahau, Modang, dan Melanau, di Kaltim dan Sarawak, Malaysia Timur. Keempat, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering, perbukitan, dan basah, terikat dengan rumah panjang atau rumah tunggal (dewasa ini), dan memiliki ciri-ciri campuran antara egaliter dan sistern pelapisan sosial, dan masih memegang agama asli (Kaharingan), serta tradisi penguburan kedua berupa pembakaran tulang belulang para kerabat dan leluhur. Kelompok-kelompok etnis ini mendiami bagian hilir-tengah dari daerah aliran sungai dan perbukitan berlahan kering dan basah. Misalnya, Orang Limbai, Ransa, dan Ot Danum (UluAi', Ulu Arai) di Kalbar-Kalteng, atau Orang Lun Dayeh, Bentian, Tonyoi, Benuaq, di Kaltim, dan Orang Kelabit di Sarawak, Malaysia, atau Orang Ngaju, Ma'anyan, dan Ot Danum di Kalteng.
Konflik di Sambas
Sambas berasal dari dua kata dalam Bahasa Hakka/Khek, yakni "sam" (tiga) dan "bas" (bangsa). Karena itu, daerah ini awalnya dibuka oleh "tiga bangsa", yaitu Melayu, Dayak (Kanayatn), dan Cina Hakka/Khek. Versi lain, Sambas berarti kota yang terletak di pertemuan tiga sungai, yakni Sungai Sambas Kecil, Teberau, dan Subah. Pada 1687, di Muara Ulakan di Sambas didirikan keraton Kesultanan Sambas oleh Raden Sulaiman yang bergelar Sultan Mohammad Tsafiuddin I. Dia adalah salah satu keturunan dari Sultan Abdul Djalil Akbar yang berasal dari Kerajaan Brunei Darussalam. Sampai sekarang ke-3 kelompok inilah yang dominan di Sambas, yakni Melayu Sambas (49,1%), Dayak Kanayatn (19,86%) dan Cina Hakka/Khek (17,73%) dari jumlah penduduk Kabupaten Sambas yang sekitar 900 ribu jiwa. Selebihnya adalah para pendatang seperti Bugis, Makassar, Jawa, Banjar, dan Madura. Setidaknya, sejak 1920-an kelompok Madura telah bermigrasi ke wilayah Sambas. Mereka bekerja sebagai buruh di pelabuhan, perkebunan, dan pembuatan jaringan jalan.

Kesultanan Sambas bercorak maritim dan pertanian pasang-surut. Adapun kelompok Khek masuk ke Sambas sejak 1772 guna memenuhi permintaan Sultan Oemar Aqqamuddin untuk membangun pertambangan emas di Lara, Lumar, Montrado, Seminis, dan sekitarnya. Kongsi dagang Khek diwajibkan menyetor emas kepada Sultan. Sejurus dengan berkurangnya hasil emas, kelompok Khek beralih menjadi petani, pedagang perantara berbagai hasil bumi dan hutan non-kayu seperti damar, rotan, tengkawang yang dikumpulkan oleh kelompok Dayak Kanayatn di pedalaman. Sedemikian, pada masa lampau, tatanan sosial dan ekonomi di Sambas bersifat saling melengkapi.

Pada 1970-an, tatanan tersebut berubah seiring dengan pembukaan hutan dan pembuatan jaringan jalan, yang disertai dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan kerusakan dan perusakan lingkungan secara masif. Penyeragaman kampung menjadi desa bercorak Jawa juga berperan dalam pengikisan alas bangunan sosial dan ekonomi setempat. Posisi Kepala Adat (timanggong), misalnya, lebih banyak ditentukan, atau diangkat oleh Pemerintah, sehingga ia kerap serba salah dalam menengahi silang sengketa tanah adat atau tanah kebun setempat, termasuk pranata-pranata asli dalam penyelesaian sengketa. Sementara itu, di pedalaman, kebun-hutan, hutan karet, dan tanah-­tanah keramat kelompok Dayak Kanayatn banyak yang telah beralih fungsi menjadi kawasan pengusahaan hutan (HPH), HTI-Transmigrasi, dan belakangan ini, menjadi kebun kelapa sawit berskala besar.
Keluhan dan protes dianggap sebagai pembangkangan dan melawan kepentingan nasional atau Negara. Pada 1996, perkebunan jeruk kelompok Khek dan Melayu di Tebas dan sekitarnya juga ambruk sejurus dengan pemberlakuan tata niaga jeruk, sehingga banyak keluarga yang beralih kerja menjadi kuli dan pelacur di Sarawak, atau mengawinkan anak gadisnya dengan Orang Taiwan. Sektor transportasi, jasa tenaga kerja, dan pembuatan jalan yang dapat menggantikan keterpurukan pendapatan rumah tangga pun telah dikuasai oleh migran Madura pasca 1990-an. Sayangnya, penguasaan sektor-sektor itu banyak yang disertai dengan praktik main kayu, premanisme, dan patronase.
Maraknya premanisme dalam pendominasian sektor ekonomi dan perusakan lingkungan itu bertemali pula dengan corak penguasaan dan pengurasan sumber daya alam (SDA) secara rakus yang dibangun oleh rezim Orba. Repotnya, dalam sejumlah kasus, para individu pendukung praktik premanisme itu berasal dari kelompok Madura yang masuk ke Sambas pasca 1990-an. Di Desa Rambayan, Kecamatan Jawai, umpamanya, terdapat "Texas Sambas" yang dikelola para preman asal Madura, yang menyediakan aneka perjudian, peredaran minuman keras, dan pelacuran. Protes dari kelompok Melayu tak dindahkan. Dalam kasus lain, semisal hak atas tanah-kebun, terjadi tekanan dan ancaman kekerasan. Sedemikian, penumpukan kasus­-kasus kriminal dan kekerasan yang dilakukan sejumlah individu kelompok Madura yang tak terselesaikan secara adil dan tegas, dan acapkali dibungkus oleh solidaritas sesama asal-usul melalui hubungan patron­-klien di kalangan kelompok Madura itulah, yang mengubah konflik antar individu atau antar kelompok menjadi konflik antar etnis. Atribut­atribut yang melekat pada seseorang atau sekelompok preman asal Madura lalu diangkat menjadi label, stereotip, dan prasangka yang dikenakan terhadap setiap anggota kelompok Madura yang lain.

Ketiadaan pranata dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, adil dan berlaku sama, sejurus dengan pelanggaran atas sejumlah perjanjian damai, adalah lahan subur bagi kemunculan konflik dan kekerasan. Karenanya, tak usah heran bila kasus Sambas cepat meluas oleh peristiwa penyerangan di Desa Parit Setia pada 19 Januari 1999 yang bertepatan dengan hari ke-2 Lebaran. Peristiwanya berawal dari penangkapan Hassan, warga Madura, yang kedapatan mencuri ternak dan dihajar oleh warga kelompok Melayu. Keluarga si Hassan yang merasa malu (todus) kemudian berupaya menuntut balas (balessan), dan melakukan penyerangan ke Desa Parit Setia hingga menyebabkan tiga orang tewas. Dalam tatanan nilai kelompok Melayu tempatan adalah pantang untuk menanyakan atau menagih utang di hari yang fitri tersebut, apalagi kalau ada peristiwa pembunuhan.

Pertikaian menyebar ke Pemangkat tatkala Rodi bin Muharap, seorang preman Madura, tak bersedia membayar ongkos naik oplet yang diawaki oleh dua orang Melayu. Ketika ditagih, Robi tak sudi menerima hardikan si Bujang Lebik bin Idris, sang kernet oplet. Bahkan, Robi membacok Bujang sampai tewas. Tragedi melebar ke Samalantan, wilayah kelompok Dayak Kanayatn, ketika sebuah mobil dicegat oleh warga Madura di Desa Perapakan, Pemangkat, yang disertai dengan pembunuhan terhadap salah seorang penumpang mobil.
Alhasil, rentetan peristiwa kriminal murni yang tak terselesaikan secara cepat, adil dan terbuka itu, menyeret kelompok Melayu­-Dayak Kanayatn, termasuk kelompok Khek, ke dalam sebuah konflik berdarah.

Kelompok Khek terlibat secara tak langsung lewat dukungan logistik lantaran gencarnya praktik pemalakan dari sejumlah preman asal Madura terhadap perdagangan mereka di pasar-pasar di Sambas dan Pemangkat.


Konflik di Sampit
Sampit adalah kota pelabuhan laut dan ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotun)." Dalam sebulan, Sampit disinggahi 150-170 kapal barang dan penumpang. Sebelum kerusuhan, penduduk kabupaten ini sekitar 645.928 jiwa, dan hampir 60.000 ribu jiwa berasal dari Madura. Mereka mendiami wilayah kota dan pinggirannya. Adapun jumlah penduduk asli di kota ini lebih sedikit ketimbang kelompok Madura, yakni umumnya Orang Ngaju Katingan dan Mentaya, atau Ot Danum dan sedikit Orang Ma'anyan yang berasal dari Sungai Barito, di arah timur Kalteng, dekat Kalsel.
Sejak 1900-an, kompeni Belanda mengajak kelompok Madura bermigrasi ke sini untuk menjadi buruh kasar di bedeng-bedeng perkebunan dan pembukaan badan jalan. Pada zaman Jepang, sebagian kelompok Madura mulai ke luar dari bedeng-bedeng dan berkiprah di sektor transportasi antarpulau atau kuli di pelabuhan. Warga Madura generasi pertama itu banyak yang kawin-mawin dengan penduduk setempat. Kontak sosial dan ekonomi sebelum 1970-an berjalan baik dan tak bergesekan langsung lantaran penduduk asli lebih banyak berada di pinggiran kota dan pedalaman, serta bergiat dalam perladangan gilir balik atau per-tambangan tradisional. Pasca 1970-an, tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan mulai berubah sejalan dengan pengusahaan hutan dan perkebunan kelapa sawit di daerah pedalaman dan pertambangan emas skala besar di Ampalit.
Tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Sampit, dan Kalteng umumnya, mesti dipahami secara historis dan lebih seksama ketimbang Sambas, Kalbar. Tentang pengayauan, misalnya, kelompok-kelompok Dayak di provinsi inilah yang memprakarsai penghentian praktik pemenggalan kepala dalam peperangan antarsuku lewat Perjanjian Tumbang Anoi pada Mei 1894. Kedua, sampai sekarang, penganut Kaharingan, agama asli setempat, menduduki posisi ke-2 di Kalteng. Ketiga, pemisahan atau pembentukan Provinsi Kalteng pada 1959 dari Provinsi Kalsel tercapai melalui jalan yang keras, yaitu lewat Gerakan Mandau Telabang Pantja Sila (GMTPS) yang dipimpin Alm.Tjilik Riwut, Orang Ngaju Katingan, dan Alm. Panglima Christiaan Simbar, Orang Ma'anyan. Keempat, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam (SDA), nasib provinsi ini paling merana ketimbang provinsi­-provinsi lain di Kalimantan. Hampir semua kantor pusat perusahaan kayu, pertambangan, atau perkebunan, tak ada yang berlokasi di Palangka Raya. Sebagian kantor perusahaan tersebut ber-kedudukan di Pontianak (Kelompok Alas Kusuma, misalnya), Banjarmasin (Kelompok Barito atau Djajanti, misalnya), atau di Jakarta. Sedemikian, nyaris tak ada efek berganda dalam penyerapan tenaga kerja setempat, termasuk kas pendapatan daerah selama tiga dasawarsa. Kenyataan lainnya, pertambangan PT. Ampalit Mas Perdana tak mengindahkan biaya reklamasi pasca eksploitasi emas.
Perlakuan rezim Orba terhadap agama Kaharingan juga aneh. Agama asli yang merupakan pedoman bertindak sekaligus ekspresi kebudayaan aneka kelompok Dayak setempat ini, mesti ditambah kata Hindu supaya diakui oleh Negara. Sedemikian, negarasisasi Kaharingan dianggap sebagai pelecehan atas martabat kebudayaan asli setempat.

Dalam konteks pemerintahan, hampir tak ada orang setempat yang menduduki posisi kunci pasca Tjilik Riwut terkecuali mantan Gubernur Sylvanus dan WA Gara. Lebih jauh, keluhan dan protes terhadap ketiadaan imbas kemanfaatan dari pengusahaan SDA hanya ditanggapi lewat pendirian Gedung Batang Garing, sebuah gedung bisnis dan perkantoran di Palangka Raya.




Sejurus dengan gelombang migran pasca 1990-an dari Madura dan Jatim ke Sampit dan Ampalit, kekecewaan kelompok-kelompok Dayak setempat kian mendalam. Misalnya, dari sekitar 12.000 ribu penambang emas (liar) di Ampalit, hampir sebagian besar berasal dari Madura. Usaha itu didukung pula oleh jaringan patronase, dan menjamurnya perjudian dan pelacuran yang disokong oleh para preman asal Madura. Tak ayal lagi, kegiatan penambangan emas tradisional penduduk setempat semakin terdesak. Kalau hendak membeli air raksa, umpamanya, para penambang mesti menghadapi sindikat patron dan pemburu emas yang berbasis di Palangka Raya dan Sampit.


Belakangan, sekitar 8000 ribu penambang merambah ke Sungai Sekonyer, di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kabupaten Kota Waringin Barat. Di sini mereka bergabung dengan kegiatan penebangan kayu ramin secara liar, yang juga bertemali dengan patronase para preman asal Madura.

Tak usah heran bila seusai kerusuhan Sampit, sekitar 3000 ribu penebang liar raib dari taman nasional itu. Sudah menjadi pengetahuan umum, pola dan praktik pengusahaan hutan dan emas rezim Orba kerap meremehkan interdependensi antara eksistensi kebudayaan dan ruang gerak mata pencarian penduduk asli tempatan. Sebaliknya, kian banyak warga kelompok Madura ke Sampit guna memperbaiki taraf hidup mereka ketimbang di daerah asal yang kebanyakan berlahan kapur dan tandus. Tak ada yang salah dengan niat tersebut.


Yang meresahkan adalah gelombang migran pasca 1990-an ini bertemali dengan rangkaian peristiwa kriminal murni yang acapkali melibatkan sejumlah preman asal Madura dan Jatim. Kebanyakan kasus kriminal tersebut tak diselesaikan secara cepat, adil, dan terbuka. Karenanya, tumpukan kebencian dan permusuhan antar individu dan antar kelompok itu kemudian cepat berganti rupa menjadi permusuhan antar kelompok etnis.


Serupa dengan kasus Sambas, setiap atribut yang melekat pada si individu atau sekelompok kecil kelompok Madura yang kriminal tersebut, dikenakan pula pada setiap warga Madura. Hubungan antar individu warga Madura-Dayak berubah menjadi hubungan penuh label, stereotip, dan prasangka. Penyelesaian menurut hukum adat setempat semestinya dapat meredam kebencian dan permusuhan tersebut.

Namun, bagi kelompok Madura, bentuk-bentuk dan persyaratan penyelesaian ala hukum adat setempat itu dianggap tak sesuai dengan keyakinannya.
Ketiadaan upaya penegakan hukum (positif-nasional) yang dapat diterima semua pihak ini seperti tak disadari oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Alhasil, itulah sebab-musabab kelompok-kelompok Dayak melakukan penegakan keadilan versi "zaman pengayauan" di masa lalu.

Mengingat sejarah dan tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan di atas, tak mengherankan kerusuhan berdarah di Sampit dapat meluas seketika hanya oleh kejadian kriminal biasa yang bermula dari pembunuhan si Sendong, seorang kelompok Man'anyan, di Kereng Pangi, "Texasnya Sampit", pada Desember 2000. Eskalasi konflik menjadi-jadi tatkala kasus tersebut tak dapat diselesaikan secara cepat, adil, dan terbuka oleh kepolisian setempat. Bahkan, para pembunuh itu dapat kembali ke Madura berkat persekongkolan antara patron si preman dan aparat kepolisian setempat. Peristiwa saling serang dan bunuh pada 18-19 Februari 2001 semakin menyulut dan memperlebar konflik antara kelompok Dayak-Madura.


Penjelasan dan Transformasi Konflik
Dari berbagai pendapat dan analisis para pengamat yang mengemuka dalam media nasional dan internasional terdapat setidaknya tiga sudut pandang yang lazim digunakan untuk menjelaskan kerusuhan di Sambas dan Sampit.

Pertama, model penjelasan yang bertumpu pada pendapat bahwa ke-2 kerusuhan itu disulut oleh ketidakharmonisan hubungan antara kebudayaan dominan setempat (Melayu-Kanayatn/Sambas) dan kebudayaan minoritas setempat (Madura Sampang-Bangkalan/ Sambas), atau antara antara kebudayaan Ngaju-Ot Danum-Ma'anyan versus Madura, di Sampit, Kalteng. Hubungan yang menegang itu kerap kali bermula dari ulah sejumlah begundal asal Madura berikut atribut-atribut kesuku-bangsaannya (baca:'belurit).

Hubungan yang semula bersifat kebencian antar individu yang terjadi berulang kali, serta tak diselesaikan oleh aparat penegak hukum tersebut, dianggap telah mengusik aturan dan rasa keadilan warga pendukung kebudayaan dominan setempat (Suparlan, 1999: 7-19; 2000: 71-85).

Ketidak-tegasan upaya penegakan aturan main dan hukum (nasional/positif) juga berperan dalam melestarikan rasa permusuhan antar individu. Atribut-atribut antar individu yang bermusuhan tersebut lambat laun bersalin rupa menjadi, atau seolah-olah, berlaku sama bagi setiap individu dan daerah asal usulnya.

Alhasil, hubungan permusuhan dan kebencian antar individu menjadi per-musuhan dan kebencian antar kelompok etnis atau kolektif. Masing-masing pihak berupaya meniadakan atribut-atribut lawannya yang dianggap telah mengotori dan merusak tatanan kehidupan warga pendukung kebudayaan dominan setempat (Melayu-Kanayatn-Ngaju-Ot Danum ­Ma'anyan). Pelestarian tersebut menjadi melekat oleh label, strereotip dan prasangka yang dikenakan oleh satu pihak ke pihak lainnya, dan sebaliknya. Perjanjian perdamaian kerap kali dilanggar lantaran proses menuju perdamaian lebih banyak dirancang dan ditentukan oleh para elite lokal yang tak berakar ke bawah seiring dengan upaya penyeragaman pranata-pranata sosial di kampung asli setempat menjadi desa bercorak Jawa.

Sedemikian, menurut model penjelasan ini, peristiwa yang bersifat kriminal murni antar individu yang saling benci dan bermusuhan itu, dapat meledak menjadi pertikaian berdarah antar kelompok etnis.

Peperangan yang saling meniadakan itu, menurut kelompok-kelompok asli setempat, dianggap sebagai bagian dari upaya mensucikan kembali tatanan kehidupan akibat polusi yang ditimbulkan oleh pihak lawan (Madura). Karenanya, baru-baru ini kelompok Ngaju Katingan di Kasongan, Kecamatan Katingan Hilir, misalnya, merasa perlu mengadakan upacara membuang hajat (bahajat) dan meruwat kembali seisi halamannya (lewu') dari mara bahaya (manyanggar) seusai kerusuhan. Sementara itu, kelompok Madura menyerang pihak lawannya sebagai bagian dari upaya menebus rasa malu (todus) dan pembalasan (balessan).

Model penjelasan ini dapat menerangkan hakikat pertikaian berdarah di Sambas dan Sampit. Akan tetapi, penjelasannya agak sukar untuk dijadikan pedoman operasional untuk membuat desain penyelesaian, atau bahkan pencegahan konflik di kemudian hari, karena memandang kemunculan konflik antar etnis tersebut seolah-­olah terjadi, atau berada, dalam sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari dinamika dan peta pertarungan kekuatan dan modal yang melingkupi dunia di luar dari wilayah interaksi antar etnis tersebut. Selain itu, pihak luar akan berpandangan (ethic viewpoint), bagaimana mungkin pemulihan hubungan permusuhan untuk menuju perdamaian antar etnis itu, mesti dijalin melalui pertalian dengan para dewa petir kelompok asli setempat (nayau), yang pemahamannya hanya diketahui oleh para tetua (emic viewpoint). Terlepas dari kekurangan tersebut, model ini telah membantu pemahaman tentang hakikat hubungan antar suku bangsa dan corak kemajemukan suku bangsa di negeri ini (baca: Indonesia bukan masyarakat homogen).

Kedua, model yang bertumpukan pada pandangan Neil Smelser tentang prasyarat-prasyarat kemunculan perilaku kolektif (baca: pertikaian berdarah) di Sambas dan Sampit, sebagaimana diutarakan oleh Marzali (2001) sebagai tanggapan atas Suparlan. Dalam model ini, Smelser mengatakan sekurangnya terdapat enam kondisi kemunculan perilaku kolektif, yakni adanya struktur sosial yang kondusif untuk itu, adanya ketegangan struktural, keyakinan bersama tentang sebab-musabab dari ketegangan struktural, ada mobilisasi massa oleh pemimpin, dan ketiadaan kontrol sosial.

Model penjelasan ini lazim dikemukakan oleh para sosiolog atau pengamat politik, termasuk para penggiat organisasi non pemerintah (Ornop) dalam menerangkan hakikat kerusuhan di Sambas dan Sampit.




Disebutkan pula bahwa kerusuhan tersebut adalah produk warisan sejarah dari rezim Soeharto dalam mengelola Negara dan kerakusan dalam mengelola sumber daya alam yang merupakan basis material penghidupan segenap orang. Sehingga, muncul istilah kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence) lewat birokrasi pemerintahan yang dipenuhi oleh para begundal yang gemar korupsi dan sarat nepotisme.


.

Tercermin pula dari tuduhan adanya sekelompok tukang kipas.

Barangkali situasi yang serba kacau ini memang diidam-idamkan oleh para tukang kipas di atas sebaran jerami kering di segenap pelosok negeri ini. Apapun motivasinya, sikap masa bodoh dan kealpaan untuk meniadakan akar-akar kemunculan konflik etnis dan lingkungan yang bersifat akut dan kronis itu, serta ketiadaan niat untuk memajukan pendidikan multikultur secara meluas, amatlah besar ongkosnya bagi negeri yang serba majemuk dan beragam sumber daya alam ini: selamat tinggal
Referensi:
Bruner, Edward M. 1974. "The Expression of Ethnicity in Indonesia" dalam Urban

Ethnicity (A. Cohen, editor), hlm. 251-288. London: Tavistock.
Crouch, Harold. 2001. Communal Violence in Indonesia: Lessons from

Kalimantan. International Crisis Group (ICG), Asia Report No. 19. Jakarta-

Brussels.


Douglas, Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution

and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Hae, Nur Zain et. al. 2000. Konflik Multikultur: Panduan Meliput bagi Jurnalis.

Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), The Asia Foundatin, dan USAID.


Jatiman, Sardjono. 1995. Dari Kampung menjadi Desa: Studi Sosiologi

Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Disertasi Doktor Sosiologi pada Universitas Indonesia. Jakarta: belum diterbitkan.


Kalteng Pos (surat kabar), 2001. Tiga Tokoh Madura Diincar. Palangka Raya,

Sabtu 21 April 2001.


Kompas (surat kabar). 2001. Lokasi Penambangan Emas Ampalit menjadi .

Padang Pasir. Jakarta, Selasa 6 Maret, 2001.


2001. Buntut Kerusuhan Sampit: Sekitar 3.000 Penjarah

TNTanjungPutingMenghilang. Jakarta, Kamis 26Apri12001.


Ngo, Mering, 1989. Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan

Orang Kayan di Kalimantan Barat", dalam Prisma No. 4, hlm. 73-86. Jakarta: LP3ES.

1992. Hak Ulayat Masyarakat Setempat: Pelajaran dari Orang Kayan dan

Limbai", dalamPrisma No. 6, him. 53-65. Jakarta: LP3ES.


1998a. "Ketimpangan Berunsur SARA", dalam Forum Keadilan, edisi

khusus 17 Agustus, him. 27. Jakarta: PT. Forum Adil Mandiri.


1998b. "Dekat dengan Hutan, Jauh dari Kekuasaan: Marjinalitas Struktural

Orang Bukat dan Punan", dalam Prisma No. 1, him. 61-74. Jakarta: LP3ES.


"Ranah Konflik Etnis di Sambas: Sebuah Penjelasan Antropologi dan

Ekologi Politik", dalam: Jurnal Pasar Modal Indonesia, hlm. 48-53, edisi Mei

1999. Jakarta.

2001. "Ranah dan Resolusi Konflik Etnis di Sampit", dalam: Kompas, 4

Maret. Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1999. "Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya", dalam:

Antropologi Indonesia, Tahun XXIII, no. 59, him. 7-19. Jakarta: Jurusan

Antropologi, FISIP-UI dan Yayasan Obor.


2000. "Kerusuhan Sambas", dalam: Jurnal Polisi Indonesia, Tahun ke-2,

edisi April-September 2000, him. 71-85. Jakarta: Program Pasca Sarjana

Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia dan Yayasan Obor.
Smith, Glenn. 1996 Carok Violence in Madura. Makalah pada Pertemuan Tahunan

American Anthropological Association (AAA), San Fransisco, 20-24

November 1996.
David, K. dan S. Kadirgamar (peny.)

1989 Ethnicity: Identity, Conflict and Crisis. Hongkong: Arena Press.

Geertz, C.

1992 -The Interpretation of Culture, Selected Essays. London:

Hutchington & Co. Publisher Ltd.

Nas, PJ.M. (peny.)

1995 Issues in Urban Development: Case Studies from Indonesia. Leiden:

Leiden University Press.

Pelly, U. dan A. Menanti

1992 Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: P3MTK, Depdikbud RI.

Suryadinata, L.

1998 Interpreting Indonesians Politics. Singapore: Times Academic Press

Pramoedya Ananta Toer,

Nopember 1999




HD -09




Yüklə 87,95 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©www.genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə