Artikel Telaahan Abstrak



Yüklə 96,15 Kb.
Pdf görüntüsü
tarix18.05.2018
ölçüsü96,15 Kb.
#44944


Artikel Telaahan

Abstrak

Pada periode 2002 _ 2012, tren angka fertilitas total mengalami stagnasi

sekitar 2,6. Milenium Development Goals (MDGs) menunjukkan kemajuan

yang baik, tetapi masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target

tahun 2015. Khususnya upaya untuk mencapai target 102 per 100.000 ke-

lahiran hidup. Metode keluarga berencana (KB) yang banyak digunakan

pasien pascapersalinan saat ini adalah metode kontrasepsi jangka pendek

seperti pil dan suntik. Sedang metode kontrasepsi jangka panjang seperti



intra uterine device dan implant cenderung turun satu poin dari tahun 2002

hingga 2007. Upaya mengatasi masalah yang sedang dialami masyarakat

Indonesia saat ini meningkatkan akseptor KB metode kontrasepsi jangka

panjang (MKJP). Model pengambilan keputusan adalah alat yang di-

kembangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan KB di tingkat

pelayanan kesehatan primer dan sekunder. Alat tersebut dapat membantu

meningkatkan kepuasan pasien, penggunaan jasa konseling, dan pemilihan

penggunaan KB MKJP yang aman dan efektif. Model shared decision ma-



king adalah model pengambilan keputusan yang banyak digunakan, ber-

manfaat dalam memotivasi pasien memilih perawatan yang tepat dan mem-

pertahankan hubungan terapeutik. Diharapkan jumlah akseptor KB MKJP

dapat memenuhi target MDGs 2015.



Kata kunci: Akseptor keluarga berencana, metode kontrasepsi jangka pan-

jang, millenium development goals, tingkat kesuburan



Abstract

Trends in total fertility rate from the year 2002-2012, amounting to 2.6 stag-

nated. Targets of the Millennium Development Goals (MDGs) have shown

good progress but still needs to work hard to achieve in 2015. MDGs par-

ticular purpose, efforts are needed to achieve the 2015 target of 102 per

100,000 live births. Family planning method that is widely used today are

short-term contraceptive methods such as pills or injections. Being a long-

term contraceptive methods (LTM) such as intra uterine device and implants

tend to go down one point from the year 2002 to 2007. Efforts to address

Model Pengambilan Keputusan Meningkatkan Akseptor

Keluarga Berencana Metode Kontrasepsi Jangka Panjang 

Decision Making Model for Increasing Acceptors Family Planning Long-

Term Contraception Method 

Suryani Manurung

483

the problems being experienced by the people of Indonesia is currently im-

proving family planning acceptors LTM. Decision making model is a tool de-

veloped to improve the quality of family planning services at the level of pri-

mary and secondary health care. This tool can help increase the patient sa-

tisfaction, using counseling services, and the selection use is safe and ef-

fective of contraceptive LTM. Model of shared decision making is a decision

making model that is widely used, useful in motivating patients choose the

proper care and maintain a therapeutic relationship. Expected number of

family planning acceptors LTM can meet MDGs targets by 2015.



Keywords: Family planning acceptor, long-term contraception, millenium

development goals, fertility rate



Pendahuluan

Tren angka fertilitas total pada periode 2002 _ 2012

mengalami stagnasi yaitu sebesar 2,6 (angka kelahiran

per 1.000 wanita).

1

Penyebaran angka fertilitas me-



nunjukkan wanita yang tinggal di perkotaan  mempunyai

total fertility rate (TFR) 0,4 lebih rendah dibandingkan

dengan wanita di perdesaan yang  tersebar pada kelom-

pok usia 25 _ 29 tahun, 30 _ 34 tahun dan 40 _ 44 tahun.

Gambaran peningkatan ibu hamil tahun 2010 adalah

4.809.850 yang tersebar di seluruh Indonesia.

1-3 

Kondisi


ini berdampak pada peningkatan jumlah peduduk

Indonesia tahun 2010 sebesar 237.641.326 jiwa, lebih 3,4

juta dari proyeksi sekitar 234,2 juta jiwa.

1,3


Pada periode

2000 _ 2010, terjadi peningkatan laju pertumbuhan pen-

duduk sekitar 1,49% dibandingkan laju pertumbuhan

penduduk periode tahun 1990 _ 2000 sekitar 1,45%.

3

Alamat Korespondensi: Suryani Manurung, Politeknik Kesehatan Kementerian

Kesehatan Jakarta I, Jl.Wijayakusuma Raya No. 47-48 Cilandak Jakarta

Selatan, Hp. 081219969292, e-mail: 

yani_manru@yahoo.co.id

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta I 

 



Kesmas

, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013

Di Indonesia, peningkatan jumlah penduduk ber-

pengaruh terhadap status kesehatan masyarakat. Angka

kematian ibu dan bayi masih tergolong tinggi. Angka ke-

matian ibu, tahun 2007, sekitar 228 per 100.000 kelahir-

an hidup dan angka kematian bayi sekitar 34 per 1.000

kelahiran hidup, lebih tinggi dibandingkan negara

ASEAN yang lain.

2,3

Angka kematian ibu dipengaruhi



oleh proporsi tinggi ibu melahirkan dengan risiko terlalu

muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak.

Namun, risiko melahirkan terlalu tua memperlihatkan

kecenderungan yang meningkat 3,4% dari 1,3%. Pada

tahun 2014, diharapkan proporsi melahirkan dengan

risiko empat terlalu, menurun 50% dari kondisi yang

ada.

1,4


Berdasarkan target Millenium Development

Goals (MDGs) yang telah disepakati tahun 2015,

Indonesia diharapkan mampu menurunkan angka ke-

matian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan

angka kematian bayi menjadi 23 per 1.000 kelahiran

hidup.

2

Dilihat dari pencapaian keberhasilan penurunan



angka kematian ibu dan bayi, indikator keberhasilan

pembangunan kesehatan di Indonesia diharapkan dapat

dicapai jika persentase akseptor metode kontrasepsi

jangka panjang (MKJP) dapat meningkat.

4

Penyebaran pemakaian alat kontrasepsi pada wanita



muda cenderung menggunakan cara keluarga berencana

(KB), seperti suntik, pil, dan susuk, sedangkan wanita

yang lebih tua cenderung memilih menggunakan kon-

trasepsi jangka panjang, seperti intra uterine device

(IUD) dan sterilisasi. Penggunaan kontrasepsi jangka

pendek menyebabkan angka kelangsungan pemakaian

kontrasepsi cenderung menurun yang berdampak pada

peningkatan fertility rate.

3,4

Metode KB yang banyak di-



gunakan pasien pascapersalinan saat ini adalah metode

kontrasepsi jangka pendek, seperti pil dan suntik.

3,4

Pemakaian metode suntik dari tahun 2002 _ 2007 



cenderung naik empat poin, dari 28% menjadi 32%, 

sedangkan metode kontrasepsi jangka panjang seperti

IUD dan implan cenderung menurun satu poin meliputi

implan 4% menjadi 3%, dan IUD dari 6% menjadi 5%.

5

Hal tersebut menunjukkan bahwa pola penggunaan kon-



trasepsi di Indonesia semakin didominasi oleh metode

kontrasepsi hormonal dan bersifat jangka pendek. Salah

satu faktor yang dianggap berkontribusi terhadap ke-

cenderungan pemilihan metode kontrasepsi jangka pen-

dek jenis hormonal adalah faktor penerimaan atau image

terhadap kontrasepsi tersebut.

Pada periode 2002 – 2007, tingkat drop out pasien

yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek jenis

hormonal seperti, pil, suntik terus mengalami peningkat-

an dari 4,2% menjadi 4,5%.

3,4

Untuk mengatasi per-



masalahan penduduk saat ini, pemerintah mencanang-

kan program kontrasepsi MKJP yang merupakan metode

kontrasepsi dengan masa efektif yang relatif lama.

Metode tersebut dapat digunakan oleh wanita meliputi

metode operasi wanita, alat kontrasepsi dalam rahim

(AKDR) atau IUD dengan masa berlaku sampai 10

tahun, alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) atau implan

dengan masa berlaku tiga tahun.

5,6

Dalam menjamin hak



hidup sehat seluruh bangsa Indonesia, pemerintah

bertanggung jawab pada ketersediaan sumber daya yang

adil dan merata untuk memperoleh derajat kesehatan

tinggi, termasuk pelayanan keluarga berencana. Upaya

meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menu-

runkan unmet need dilakukan melalui peningkatan akses

dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Hal

tersebut diprioritaskan pada perluasan pelayanan ke-

sehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang kompre-

hensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana, dan

penyebarluasan komunikasi, informasi, dan edukasi

kepada masyarakat.

7

Model pengambilan keputusan dalam kesehatan



dapat memengaruhi keputusan yang diberikan oleh

pasien dalam pemilihan metode kontrasepsi. Model



shared decision making adalah salah satu model yang di-

gunakan oleh penyedia pelayanan kesehatan dalam mem-

bantu pasien membuat keputusan kesehatan.

8

Menurut



model tersebut, tenaga kesehatan wajib memberikan

informasi pasangan keluarga dan dukungan yang mereka

butuhkan untuk membuat salah satu pilihan keputusan

terbaik.


8,9

Keputusan pasien dilakukan setelah mendapatkan

informasi model kontrasepsi jangka panjang melalui kon-

seling.


9

Hasil penelitian hubungan pengetahuan dengan

pendidikan, konseling, dan konselor, menemukan 60%

responden tidak mengetahui model kontrasepsi yang

benar. Penelitian ini menunjukkan banyak ruang untuk

meningkatkan kualitas keluarga berencana. Wanita ber-

pendidikan lebih tinggi secara bermakna lebih mungkin

mengetahui metode kontrasepsi yang digunakan.

10

Peng-


gunaan alat pengambilan keputusan oleh penyedia 

kesehatan, dan pemberian informasi tentang keluarga 

berencana, menunjukkan keterlibatan pasien  dalam

proses pengambilan keputusan. Komunikasi pasien men-

jadi meningkat serta  kontribusi tenaga kesehatan men-

galami  pergeseran yang didominasi pada penerapan

model shared decision making.

11

Pelayanan kontrasepsi yang dilakukan oleh pelayanan



keluarga berencana rumah sakit (PKBRS) dengan media

konfirmasi, informasi, dan edukasi (KIE), tetapi tidak

menyampaikan cara dan alat yang digunakan untuk

pengambilan keputusan IUD postpartum atau MKJP.

12,13

Pemberian KIE dilakukan pada saat calon akseptor



hendak menggunakan alat kontrasepsi IUD postpartum

periode melahirkan. Penerapkan model pengambilan

keputusan diharapkan dapat membantu pasien memilih

alat kontrasepsi MKJP sesuai dengan kebutuhan. Dengan

demikian, total fertility rate dapat berkurang dan

diharapkan dapat  mencapai tujuan MDGs pada tahun



484


Manurung, Model Pengambilan Keputusan Meningkatkan Akseptor KB

2015, antara lain menurunkan angka kematian ibu dan

bayi.

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

Lebih dari 95% pasien pascapersalinan ingin me-

nunda kehamilan berikutnya paling sedikit dua tahun lagi

atau tidak ingin menambah anak lagi.

5

Metode yang



dapat digunakan ibu pascapersalinan meliputi metode

amenore laktasi (MAL), AKDR, metode operasi wanita

(MOW), dan metode KB hormonal (implant/susuk) yang

tidak mengganggu ASI, suntik (hanya mengandung pro-

gestin), minipil (hanya mengandung progestin).

5,6


Kontrasepsi pilihan ibu pascapersalinan adalah metode

kontrasepsi jangka panjang yang sesuai prioritas meliputi

MOW, AKDR, IUD, dan AKBK.

5,6


Metode tersebut

dapat digunakan jangka panjang sehingga menunda masa

kehamilan dan menghindari kehamilan yang tidak di-

inginkan. Namun, saat ini, proporsi masyarakat yang

menggunakan kontrasepsi jangka panjang memper-

lihatkan kecenderungan yang menurun, antara lain di-

sebabkan oleh KIE belum mampu menyampaikan infor-

masi kontrasepsi jangka panjang dan konseling yang

belum sesuai dengan prosedur. 

Konseling MKJP yang sering dilakukan ketika pasien

memasuki persalinan sebaiknya dilakukan  pada periode

kehamilan sehingga pasien dan keluarga dapat memper-

timbangkan kebutuhan. Dengan demikian, keputusan

yang tepat pasien dan keluarga adalah memilih kontra-

sepsi jangka panjang

Banyak masyarakat pengguna alat



kontrasepsi hanya mendapatkan informasi dari orang ter-

dekat dan mencoba alat kontrasepsi sesuai dengan infor-

masi dari orang lain.

1

MKJP sering diangap masyarakat



sebagai alat kontrasepsi dengan efek samping yang ber-

bahaya. Faktor-faktor tersebut merupakan pemicu

masyarakat untuk memilih alat kontrasepsi jangka pen-

dek.


4

Upaya pengambilan keputusan bersama antara

petugas kesehatan dan pasien dalam pemilihan MKJP

sesuai dengan prosedur belum maksimal. Sementara,

penerapan pengambilan keputusan dalam memilih pe-

rawatan yang dibutuhkan dapat membimbing pasien

memilih metode yang tepat.

14,15


Pengambilan keputusan

pelayanan kontrasepsi yang diterima pasien mencermin-

kan prinsip etika dalam pelayanan kesehatan yang ter-

masuk hak menerima atau menolak salah satu kon-

trasepsi yang ditawarkan dan untuk mengubah keputus-

an.


9

Pasien berhak memutuskan alat kontrasepsi yang

sesuai, dengan mempertimbangkan keadaan fisik,

mental, keyakinan, dan prioritas sesuai dengan usia.

15

Model Pengambilan Keputusan 

Pada mulanya, hubungan dokter-pasien dalam me-

mutuskan pelayanan yang diberikan berpusat pada

dokter,  pasien berperan pasif menerima tindakan medis

dan keputusan dokter secara otoritas. Bersamaan dengan

perkembangan standar pelayanan dan penerapan etika

kesehatan, hak pasien untuk menerima, menolak atau

mengubah keputusan kesehatan tertentu diakui.

8

Taylor,


16

mengidentifikasi tiga model dalam health care



decision making meliputi, paternalism model, patient

sovereignty model, dan shared decision making model.

Dalam paternalism model, pemberi pelayanan kesehatan

adalah pengambil keputusan utama, dengan pertimbang-

an pasien tidak mempunyai pemahaman yang memadai

tentang perawatan dan pengobatan untuk membuat

keputusan yang lebih baik. Profesional tidak menangani

secara kompleks dan baik keputusan pasien tentang

tindakan pemeriksaan diagnostik dengan teknologi

modern saat ini. Pasien seharusnya memahami tindakan

diagnostik yang bervariasi sesuai dengan perawatan dan

alat teknologi yang digunakan, sehingga pasien dituntut

dapat membuat pilihan informasi yang tepat sesuai 

dengan pilihan sendiri.

16

Pada patient sovereignty model, pasien adalah



pengambil keputusan utama dalam pelayanan kesehatan.

Alasan model ini adalah bahwa dalam memutuskan hal

utama tidak ada yang mengetahui lebih baik tentang ke-

seluruhan kesehatan kecuali pasien. Bahaya penerapan

model ini adalah tidak ada satu pun yang dapat me-

lindungi pasien dari kelemahan dan penyakit yang perlu

dipertimbangkan.

16

Pada shared decision making model



pasien dan petugas kesehatan bekerja secara bersama-

sama dalam pengambilan keputusannya.

16

Dasarnya


pasien memerlukan dukungan dan informasi untuk mem-

buat keputusan terbaik yang berhubungan dengan 

perawatan kesehatan dan tindakan medis. Dari ketiga 

model tersebut menurut President’s Commission, pe-

nelitian untuk problem etik kedokteran dan biomedical

dan perilaku tahun 1980, paternalism model, patient 



sovereignty model menolak untuk menerapkan model ter-

sebut dan merekomendasikan shared decision making



model.

16

Penerapan Shared Decision Making Model

Kunci keberhasilan pelaksanaan program keluarga

berencana adalah penerapan pengambilan keputusan

(shared decision making model) yang menjalankan kon-

seling kontrasepsi.

17,18

Keberhasilan penerapan shared



decision making model meningkatkan akseptor KB MKJP

berada di setiap elemen model, meliputi bertanya, priori-

tas, menilai, menasihati, pengakuan, membantu, mem-

buat keputusan, dan evaluasi.

19,20

Langkah pertama, bertanya adalah wawancara moti-



vasi terpusat pasien yang mengidentifikasi isu empati,

pemahaman situasi nyata yang berkembang, efikasi ban-

tuan pemecahan masalah orang lain, resistansi untuk

tidak membuat perubahan dan tidak memberi informasi

sebelum waktu tanpa izin pasien.

17,19


Langkah kedua,

eksplorasi kebutuhan dan harapan pasien dengan tetap



485


Kesmas

, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013

mempertahankan masalah utama pasien selama fase

bertanya. Petugas menolong pasien untuk fokus pada ke-

butuhan kontrasepsi yang sesuai kondisi.

17,19

Langkah


ketiga, identifikasi hambatan penerapan shared decision

making model dari petugas dan dari pasien. Langkah

keempat, menasihati, bersiap menunda proses kunjung-

an ulang untuk meminimalkan kesalahpahaman petugas

dengan pasien dan keluarga. Petugas menyarankan ke-

untungan dan risiko informasi yang disampaikan serta

memberi waktu untuk berkonsultasi dengan anggota tim,

anggota keluarga dan sumber daya masyarakat.

18,19


Langkah kelima, persetujuan pilihan kontrasepsi pasien

sesuai kriteria yang berorientasi bukti pada pasien, nilai



shared decision making yang dirasakan pasien, berbagai

sumber kekuatan dan harapan pasien pada hasil akhir

masalah yang dihadapi.

18,19


Langkah keenammenyedia-

kan alat bantu pembuat keputusan KB MKJP untuk

membantu pertimbangan pilihan dan konfirmasi infor-

masi orang lain. Tahap ini menyajikan pilihan pasien 

dengan beberapa alternatif meliputi, pro dan kontra

pilihan, risiko dan manfaat, suka atau tidak suka, mudah

atau penuh tantangan serta penggunaan pilihan jangka

pendek atau jangka panjang. Petugas memfasilitasi pro-

ses dengan menawarkan alat pembuat keputusan pasien

atau patient decision aids (PDAs).

19,20

Langkah ketujuh,



membuat keputusan, setelah pasien dan keluarga mema-

hami dan mengenal pilihan, pilihan alat kontrasepsi yang

sesuai dengan fisik dan mental.

19,20


Langkah kedelapan,

mengevaluasi proses berupa meninjau ulang keputusan

yang dibuat, jika muncul kekhawatiran pada pilihan

pasien. Harapan pasien terhadap alat kontrasepsi pilihan

perlu dievaluasi, pengalaman menggunakan dan tingkat

kepuasan dalam membatasi dan menunda kehamilan.

19

Hambatan petugas kesehatan meliputi pengalaman



kurang nyaman, tidak terbiasa dengan kasus yang di-

hadapi, akses sumber daya terbatas, kendala waktu,

keyakinan, dan nilai, dan ketidakmampuan menjalin

hubungan. Berbagai kendala tersebut diatasi  dengan per-

timbangan konsultasi atau rujukan, peninjauan catatan

sebelum atau sekarang penjadwalan kunjungan ulang,

komunikasi semua keterbatasan dan fokus kembali pada

tujuan. mengalihkan perawatan sesuai kenyakinan dan

nilai serta memberi waktu untuk membina hubungan

yang saling percaya.

19

Hambatan pasien meliputi pe-



nafsiran dan kesadaran yang salah terhadap kesehatan.

Kesulitan dalam bahasa gangguan persepsi penglihatan,

pendengaran, keterbatasan kognitif, gangguan emosio-

nal, depresi, gaya pengambilan keputusan, keyakinan dan

nilai yang pasien anut, kesenjangan pengetahuan, 

gangguan transmisi kebisingan atau gangguan fisik.

Berbagai hambatan tersebut menggunakan bahasa seder-

hana yang dapat dipahami, pelayanan interpretasi bahasa

melalui kerja sama tim, menanyakan dan menggunakan

alat bantu, melibatkan anggota keluarga, identifikasi

emosi kuat selama wawancara, identifikasi tingkat 

depresi dan kolaborasi pengobatan depresi, penetapan

peran pasien dan keluarga serta bantuan pilihan tepat,

pemastian pengaruh praktek budaya pasien dan keluarga

terhadap pilihan dan keputusan alat kontrasepsi MKJP,

perhatian  lingkungan internal dan eksternal pasien,

penggunaan waktu sebaik mungkin, menilai tingkat pen-

didikan, pekerjaan dan merujuk jika diperlukan.

18,19

Kegiatan penerapan pengambilan keputusan alat 



kontrasepsi MKJP dalam pelayanan KB di fasilitas

pelayanan rumah sakit belum terlihat penerapan di

berbagai elemen tersebut serta penerapan konseling

MKJP yang maksimal.

12,13

Seperti yang dinyatakan pe-



nelitian sebelumnya, banyak cara meningkatkan 

kualitas pelayanan keluarga berencana antara lain

meningkatkan dan mempertahankan hubungan terapeu-

tik antara pasien dan petugas kesehatan, meningkatkan

komunikasi dan memperbaiki alat bantu pengambilan

keputusan MKJP.

10

Semua unsur tersebut telah ada



dalam shared decision making model yang menjalankan

kegiatan konseling. Bentuk komunikasi interpersonal

khusus membantu membuat keputusan atau memecah-

kan masalah melalui pemahaman klien meliputi fakta-

fakta, harapan, kebutuhan, dan perasaan klien meru-

pakan kegiatan konseling.

10,17

Konseling Keluarga Berencana

Konseling KB mencakup transfer pengetahuan ten-

tang model dan cara kerja kontrasepsi yang memungkin-

kan pasien mempunyai pilihan informasi dan meningkat-

kan kepatuhan penggunaan metode kontrasepsi efektif.

10

Informasi yang lengkap dan cukup memberikan ke-



leluasaan kepada pasien dan keluarga dalam memutus-

kan pilihan kontrasepsi (informed choice) yang diguna-

kan sehingga menurunkan angka dropout akseptor KB,

menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan dan

meningkatkan konsistensi dan ketepatan penggunaan alat

kontrasepsi.

18,19

Selama pemberian konseling, konselor



diharapkan mampu mentransfer pengetahuan tentang

model kontrasepsi yang tepat, cara kerja metode kontra-

sepsi terpilih. Dengan demikian, peran konselor dalam

konseling KB adalah  memastikan pilihan informasi kon-

trasepsi sudah tepat, membantu klien mempertimbang-

kan semua aspek masalah  untuk pilihan yang cocok dan

terbaik.

14

Konseling yang dapat mengubah perilaku pemilihan



kontrasepsi diharapkan sesuai dengan prinsip konse-

ling.


19

Konseling menerapkan komunikasi yang diawali

dengan interaksi saling percaya pada klien.

17

Nada suara 



rendah digunakan, kritik dan penilaian dihindari dan

dengar dan cermati perasaan atau pesan di balik ucapan,

dan hormati kerahasiaan klien. Topik pada konseling

harus logis dan sesuai urutan sehingga keseluruhan

masalah mampu diidentifikasi. Pertanyaan tertutup yang

486



Manurung, Model Pengambilan Keputusan Meningkatkan Akseptor KB

tidak memfasilitasi komunikasi harus dibatasi. Dengan

pertanyaan terbuka, himpunan informasi kebutuhan

pasien yang mengungkap harapan dan kekhawatiran.

Informasi yang menarik membantu klien membuat dan

melaksanakan keputusan. Pilihan metode KB relatif mu-

dah, tetapi upaya penguatan kebiasaan penggunaan

metode terpilih perlu dilakukan secara berkesinambun-

gan. Masalah dan keprihatinan klien perlu diperhatikan

tanpa mengabaikan informasi pasien. Pengakuan pasien

membina hubungan saling percaya sehingga petugas

mendapat informasi kontrasepsi yang diinginkan pasien.

Pikiran positif juga diperlukan untuk mendiagnosis

masalah terkait pilihan kontrasepsi pasien. Pasien yang

defensif mungkin merasa terancam atau tidak nyaman,

karena petugas belum memperlihatkan rasa hormat,

tidak menerima, atau tidak nyaman. Informasi objektif

dan benar harus disediakan. Penggunaan kontrasepsi

dengan mendorong pertanyaan pasien, meluangkan wak-

tu, menjawab semua pertanyaan dan kekhawatiran

pasien, dan memahami semua informasi harus didukung. 

Prinsip konseling yang berikutnya adalah pengidenti-

fikasian hambatan pemilihan dan penggunaan 

kontrasepsi dengan pertanyaan terbuka dan gunakan 

bahasa yang mudah dimengerti. Kebenaran isu dengan

dikonfirmasi dengan menanyakan asal rumor metode

kontrasepsi yang beredar untuk membantu pasien meli-

hat logika rumor tersebut dan pengaruh pada  diri

sendiri. Kerahasiaan pasien dihormati dengan menjaga

kerahasiaan dan memelihara catatan pasien tanpa meni-

lai perilakunya. Alat bantu visual dan perlengkapan kon-

trasepsi digunakan untuk memahami metode kontrasep-

si. Komunikasi nonverbal pasien diperhatikan dengan 

cermat dengan membatasi penjelasan yang tidak perlu

dan penekanan pada yang penting. Sebelum mengem-

bangkan konsep keseluruhan, istilah didefinisikan dan

gagasan dikembangkan. Contoh digunakan untuk men-

gulang informasi penting atau konsep yang sulit. Pasien

tidak diperbolehkan diyakini dari pandangan penyedia

pelayanan atau memberikan solusi kecuali saran 

klinis/medis.

17,18


Pencapaian Tujuan MDGs 2015

MDGs menempatkan manusia sebagai fokus utama

pembangunan yang mencakup semua komponen 

kegiatan dengan tujuan akhir kesejahteraan masyarakat.

7

KB merupakan salah satu indikator pencapaian target 



ke-5 MDGs 2015, meningkatkan kesehatan ibu dengan

meningkatkan akses wanita usia 15 _ 49 tahun yang

kawin menjadi akseptor KB dengan MKJP. Sampai tahun

2010, Indonesia mencapai target MDGs yang dikelom-

pokkan dalam tiga kategori, meliputi sasaran yang di-

capai, sasaran yang dapat tercapai pada tahun 2015, dan

sasaran yang pencapaiannya perlu upaya keras.

7

Sasaran dari tujuan MDGs yang cenderung maju,



tetapi  masih memerlukan kerja keras antara lain adalah

MDGs ke-5, angka kematian ibu menurun dari 390 per

100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 228

per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan perlu

upaya keras untuk mencapai target tahun 2015 sekitar

102 per 100.000 kelahiran hidup.

7

Program pembangun-



an kependudukan dan keluarga berencana dalam rangka

pencapaian penurunan laju pertumbuhan menjadi 1,1%,



total fertilty rate menjadi 2,1 tahun 2014 dengan strategi

salah satunya adalah intensifikasi dan ekstensifikasi

pelayanan KB MKJP.

3,7,8


Untuk itu perlu upaya mengarahkan pasien menjadi

akseptor KB MKJP dengan memperhatikan hak dan

psikologis pasien. Proses mengarahkan pasien dan kelu-

arga dalam pengambilan keputusan sebaiknya  dilakukan

sejak dini misalnya sejak hamil trimester III dan berakhir

pada saat menjelang persalinan. Shared decision making



model mampu mengubah perilaku dan mengarahkan

pasien mengambil keputusan yang tepat dalam perawat-

an diri.

11

Apabila  pasien  aktif ambil bagian dalam me-



ngelola kesehatan dan perawatan, dia akan berperilaku

lebih baik.

21,22

Shared decision making juga dapat me-

ngurangi sejumlah orang memilih perawatan tertentu

karena telah  mengetahui  risiko terkait.

21-23 


Pengukuran

bukti pelaksanaan shared decision making model men-

jadi acuan pengembangan shared decision making mod-

el dalam intensifikasi dan ekstensifikasi pelayanan KB

MKJP. Pengukuran dilakukan terhadap penerapan 

elemen proses pengambilan keputusan, termasuk ke-

siapan dan kualitas keputusan, serta tindakan yang

diberikan.

21

Strategi meningkatkan shared decision 



making model menciptakan komunikasi dan partsipasi

aktif.


17,23

Dengan demikian, terdapat dua strategi utama

yang digunakan untuk membuat orang menjadi aktif

meliputi meningkatkan komunikasi antara pasien dan

petugas kesehatan dan menyediakan alat bantu keputu-

san.


17,20

Mempertahankan hubungan terapeutik yang

telah terjalin antara petugas kesehatan dan calon aksep-

tor serta keluarga, memberikan kepercayaan pada pasien

untuk memilih KB MKJP yang disarankan sesuai ke-

butuhan pasien, sehingga diharapkan jumlah akseptor

KB MKJP dapat memenuhi target MDGs di tahun 2015.

Kesimpulan 

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk men-

capai tujuan MDGs 2015, khususnya tujuan MDGs

kelima antara lain menetapkan kebijakan pembangunan

kependudukan dan KB, menyusun strategi  program KB,

memperkuat sumber daya manusia operasional KB serta

meningkatkan dukungan sarana dan prasarana program

KB. Namun, evaluasi pelaksanaan program pencapaian

peserta aktif KB MKJP di tahun 2012 belum sesuai 

dengan sasaran yang diharapkan. Pelaksanaan program

KB MKJP salah satunya adalah IUD Post Placenta di

487



Kesmas

, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013

rumah sakit, cara memotivasi pasien untuk menjadi ak-

septor belum maksimal. Kunci keberhasilan dalam men-

dorong pasien menjadi akseptor KB adalah kepuasan

calon akseptor terhadap informasi KB yang diterima dan 

proses pengambilan keputusan. Model pengambilan

keputusan KB dapat membantu meningkatkan kepusaan

pasien dan kualitas pelayanan KB. Shared decision 



making model adalah model pengambilan keputusan

yang menjadi pilihan, direkomendasikan dalam

pelayanan kesehatan primer dan dapat dikembangkan di

Indonesia. Penerapan shared decision making model

mengarahkan pasien dalam pemilihan alat kontrasepsi

dengan memperhatikan aspek psikologis dengan men-

garahkan dan menghargai keputusan pasien menjadi ak-

septor KB MKJP. Dengan demikian, proporsi akseptor

KB MKJP diharapkan meningkat, peserta KB yang drop

out menurun, jumlah kehamilan yang tidak diinginkan

menurun dan fertility rate menurun, sehingga tujuan

MDGs kelima tahun 2015 dapat tercapai.

Saran

Saran untuk pemangku kebijakan dan petugas ke-

sehatan yang menjalankan program KB perlu mengeval-

uasi model pengambilan keputusan yang dilakukan saat

ini. Hal lainnya yakni perlu untuk tetap mempertahankan

pasien yang telah menjadi akseptor KB agar terhindar

dari adanya drop out. Perlu dimaksimalkan semua sum-

ber daya manusia (petugas kesehatan) yang ada di Indo-

nesia untuk dapat menjaring semua penduduk wanita

yang masih reproduktif agar ikut menjadi akseptor KB.

Perlu adanya penelitian dalam pengembangan dan pe-

nerapan shared decision making dalam pelayanan 

kontrasepsi di Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, USAID. Laporan pendahuluan, survei demografi dan kese-

hatan Indonesia 2012. Calverton, Maryland, USA. Indonesia: BPS dan

Macro International; 2012. 

2. Pusat Data dan Informasi . Data dan informasi [homepage on the inter-

net]. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: 2011 [diak-

ses tanggal 22 Juli 2012]. Diunduh dari: www.depkes.go.id. 

3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Rakernas

pembangunan kependudukan dan KB tahun 2012. Jakarta: Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; 2013. 

4. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Evaluasi

pelaksanaan program kependudukandan KB tahun 2012. Jakarta: Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; 2013. 

5. Affandi A, Gunardi K. Buku panduan praktek pelayanan kontrasepsi.

Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.

6. Direktorat Kesehatan Reproduksi. Keluarga berencana pasca persalinan

dan pasca keguguran. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional; 2011.

7. Menteri Perencanaaan Pembangunan Nasional, Kepala Badan Peren-

canaan Pembagunan Nasional.  Laporan pencapaian tujuan pembangu-

nan milenium di Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Perencanaaan

Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan Pembagunan Nasional;

2010.


8. Légaré FStacey D, Graham ID, Elwyn G, Pluye P, Gagnon MP. Open sc-

cess study protocol advancing theories, models and measurement for an in-

terprofessional approach to shared decision making in primary care: a study

protocol. Journal BMC Health Services Research. 2009; 8(2): 1472

9. Akerr YA, Melanie GA, Borero S, Santucci A, Schwarz BE. Providers

perspectives on challenges to contraceptive counseling in primary care

setting. Journal of Women’s Health. 2010; 19(6): 1163-70.

10. Topsever P, Filiz M, Aladag N, Topalli R, Cigerli O, Gorpelioglu S.

Counselling and knowledge about contraceptive mode of action among

married women. Journal BMC Women’s Health. 2006; 6(12): 1-6.

11. Kim YM, Kols A, Martin A, Silva D, Rinehart W, Johnson S, et al.

Promoting informed choice: evaluating a decision-making tool for fam-

ily planning clients and providers in Mexico. Journal International

Family Planning Perspectives. 2010; 31(4): 162–71.

12. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana dan Keluarga

Sejahtera.Operasional research (OR) IUD pasca plasenta RSUD Dr.

Kariadi Semarang. Jurnal BKKBN. 2011: 1(1).

13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana dan Keluarga

Sejahtera. Operasional research (OR) IUD pasca plasenta RSUD Abdoel

Moeloek Lampung. Jurnal BKKBN. 2011: 1(2).

14. Hodson P, Seber P. A woman’s right to choose counselling. Journal of

Family Planning and Reproductive Health Care. 2009; 28(4): 174-5.

15. Clark NM, Nelson BW, Valerio MA, Gong ZM, Taylor-Fishwick JC,

Fletcher M. Consideration of shared decision making in nursing: a re-

view of clinicians’ perceptions and interventions. Journal the Open

Nursing. 2009; 3:  65-75.

16. Nichols HF, Humenick SS. Childbirth education: practice, research and

theory. 2nd ed. Philadelphia: W.B.Saunders Co; 2000. 

17. Epstein RM,  Brian AS, Quill TE. Communicating evidence for partici-

patory decision making. Journal American Medical Association. 2010;

291(19): 2359-66.

18. World Health Organization. Decision-making tool for family planning

clients  and providers technical adaptation guide. Johns Hopkins

Bloomberg School of Public Health/Center for Communication

Programs; 2006.

19. Departement of Health London. Key element of shared decision making.

London: NHS; 2012 [cited 2013 Feb 12]. Available from: http://healthy

quality.va.gov. 

20. Elwyn G, O’Connor A, Stacey D, Volk R, Edwards A, Coulter A,

Collaboration IPDAS.  Developing a quality criteria framework for pa-

tient decision aids: online international Delphi consensus process.

British Medical Journal. 2006;  333: 417-9.

21. CAPITA group. Measuring shared  decision making a review of research

evidence. [cited 2012 Feb 8]. Available from: www.capita.co.uk. 

22. Coulter. Implementing shared  decision making in the UK a report for

the Health Foundation. London: the Health Foundation; 2010.

23. Jared JR, Drake RE. Shared descision-making and evidence-based prac-

tice. Journal Community Mental Health. 2006; 42 (1): 87-105.



488

Yüklə 96,15 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©www.genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə