Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga uud negara R. I. Tahun 1945



Yüklə 455 b.
tarix21.06.2018
ölçüsü455 b.
#50714



Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945

  • Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945

  • “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”



Kekuasaan kehakiman yg merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial)

  • Kekuasaan kehakiman yg merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial)

  • Kekuasaan kehakiman yg merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial mencampuri proses penyelenggaraan peradilan



3. Kekuasaan kehakiman yg merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat)

  • 3. Kekuasaan kehakiman yg merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat)



 1.    Sebagai bagian dari system pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyelenggara negara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu

  •  1.    Sebagai bagian dari system pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyelenggara negara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu

  • 2.    Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintahan bertindak tak semena-mena dan menindas.



3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan, sehingga system hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.

  • 3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan, sehingga system hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.



Sistem Common Law: Hakim aktif membentuk UU bersama legislatif

  • Sistem Common Law: Hakim aktif membentuk UU bersama legislatif

  • Sistem Civil Law: Hakim adalah “corong UU”

  •         



Pada hakekatnya sasaran studi ilmu hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas-asas hukum (pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan), kaedah hukum dalam arti sempit atau norma/nilai (merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dilakukan), dan peraturan hukum kongkrit

  • Pada hakekatnya sasaran studi ilmu hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas-asas hukum (pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan), kaedah hukum dalam arti sempit atau norma/nilai (merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dilakukan), dan peraturan hukum kongkrit

  •  



Peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga harus dilengkapi dan dijelaskan dengan penemuan hukum

  • Peraturan perundang-undangan tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga harus dilengkapi dan dijelaskan dengan penemuan hukum



Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat.

  • Kaedah hukum (dalam arti luas) lazimnya diartikan sebagai peraturan, baik tertulis maupun lisan, yang mengatur bagaimana seyogyanya kita (suatu masyarakat) berbuat atau tidak berbuat.

  • Kaedah hukum (dalam arti luas) meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma), dan peraturan hukum kongkrit



Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.

  • Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.



  • Kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norma) merupakan perumusan suatu pandangan obyektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan (merupakan nilai yang bersifat lebih kongkrit dari asas hukum)).

  •  



 1.    Interpretasi Gramatikal

  •  1.    Interpretasi Gramatikal

  • 2.    Interpretasi Sistematis atau Logis

  • 3.    Interpretasi Historis

  • 4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

  • 5.    Interpretasi Komparatif

  • 6.    Interpretasi Antisipatif atau Futuristis

  •  



Hakim hanya memutus menurut hukum

  • Hakim hanya memutus menurut hukum

  • Hakim memutus semata-mata utk memberikan keadilan

  • Dalam melakukan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice)



4. Harus diciptakan suatu mekanisme yg memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya.

  • 4. Harus diciptakan suatu mekanisme yg memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya.



UU yang berlaku adalah UU No 19 / 64 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 13 / 65 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

  • UU yang berlaku adalah UU No 19 / 64 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 13 / 65 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

  • Pasal 19 UU No 19 / 64:

  • “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”

  •  



Setelah Orde Baru, maka tuntutan terhadap kemerdekaan hakim diakomodir dalam UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang diperkuat lagi dalam TAP MPR R.I. NO III/MPR/1978

  • Setelah Orde Baru, maka tuntutan terhadap kemerdekaan hakim diakomodir dalam UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang diperkuat lagi dalam TAP MPR R.I. NO III/MPR/1978



Pasal 1 UU No 14 Tahun 1970:

  • Pasal 1 UU No 14 Tahun 1970:

  • “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”

  •  

  • Pasal 11 ayat (1) TAP MPR R.I. NO III/MPR/1978:

  • “Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.”



UU di bidang kekuasaan kehakiman lainnya:

  • UU di bidang kekuasaan kehakiman lainnya:

  • 1.    UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

  • 2.    UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

  • 3.    UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

  • 4.    UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

  • 5.    UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

  •  



  • Dualisme kedudukan hakim merupakan hal yang pertama kali diperhatikan, dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.



 

  •  

  • Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945 (sebelumnya hanya dalam Penjelasan UUD)

  • “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

  •  



1. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

  • 1. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

  • Kehakiman

  • 2. UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

  • 3. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

  • 4.  UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung



5. UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

  • 5. UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

  • 6. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

  • 7. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

  • 8. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum



9.UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986

  • 9.UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986

  • 10.UU tentang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

  • 11.UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara



12. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

  • 12. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

  • 13.UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

  • 14.UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

  • 15.UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

  • 16.UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.



Yüklə 455 b.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©www.genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə