Mari Bersahabat dengan Menapaki Jejak Peradaban



Yüklə 114,58 Kb.
səhifə1/3
tarix08.09.2018
ölçüsü114,58 Kb.
#67640
  1   2   3

Mari Bersahabat dengan Menapaki Jejak Peradaban

March 4, 2007 at 5:36 am (Pluralisme) 

Oleh Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/27/humaniora/2980370.htm
=================================

“Akibat dari hubungan perdagangan pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara


sangat luas. Ia tidak terbatas pada hegemoni politik saja, tetapi
juga tukar-menukar kebudayaan,” ujar seorang dosen pakar sejarah kuna
Asia Tenggara di depan kelas. Gambaran seperti itulah yang terjadi di
masa lampau di kawasan Asia Tenggara.

Pada tanggal 28 Agustus 2006, Pemerintah Indonesia memprakarsai suatu


bentuk persahabatan dengan sebagian negara-negara anggota ASEAN
(Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam), yang
memiliki tinggalan sejarah beragama Buddha, dengan menelurkan
Deklarasi Borobudur.

Dasar pemikirannya adalah latar belakang kesejarahan dan beberapa


kesamaan budaya. Isi Deklarasi Borobudur adalah komitmen bersama
untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi
warisan budaya bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan
wisata budaya.

Disadari atau tidak, eratnya persahabatan antardua bangsa atau lebih


biasanya dimulai dari kebudayaan. Apalagi kedua bangsa itu mempunyai
latar belakang budaya yang mempunyai banyak kesamaan, sekalipun di
masa lampau sejarahnya tidak begitu baik. Tepat apa yang dirintis
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika kunjungan kenegaraan ke
Kamboja dan Myanmar, yaitu kunjungan wisata dengan obyek bangunan
stupa Buddha. Ide persamaan peradaban tersebut dapat dirangkai
menjadi obyek budaya yang baik.

Hubungan kesejajaran

Sejak awal milenium pertama tarikh Masehi, bangsa-bangsa di Asia
Tenggara telah menjalin hubungan. Dimulai dari hubungan perdagangan,
disusul hubungan keagamaan dan politik antarkerajaan-kerajaan.
Adakalanya hubungan antarkerajaan mengalami sandungan-sandungan.
Namun, itu semua tidak berlangsung lama karena ambisi politik seorang
penguasa dalam kerajaan itu. Sementara itu, bangsanya (rakyat) tidak
bermusuhan.

Adanya hubungan antarsamudra dan antarbenua ternyata telah


menimbulkan kesejajaran di dalam pertumbuhan sejarah kerajaan-
kerajaan di Asia Tenggara.

Sebagai akibat perkembangan pelayaran dan perdagangan, pada kurun


abad VII-IX Masehi telah timbul pusat-pusat kekuasaan dengan kerajaan-
kerajaan seperti Sriwijaya dan Mataram (Indonesia), Tchen-la (Kamboja
dan Vietnam), dan Pagan (Myanmar). Kemudian, pada abad X-XI Masehi,
pasangan kesejajaran ini meliputi Pagan (Myanmar), Angkor (Kamboja),
Campa (Vietnam), Sriwijaya, Mataram, dan Kadiri (Indonesia).
Demikianlah seterusnya, pasangan kesejajaran ini berubah-ubah sampai
kedatangan kolonialisme Barat.

Pada waktu Tchen-la mencapai puncak kejayaannya, kerajaan ini


menguasai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara,
khususnya di Laut Tiongkok Selatan. Kapal-kapal dagangnya banyak
menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dan pesisir Asia
Tenggara daratan.

Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Menurut kronik Vietnam dan


Berita Tionghoa, pada tahun 767, ketika Campa diperintah oleh
Prthiwindrawarman, daerah delta Semenanjung Indocina diserbu oleh
pasukan yang datang dari Jawa dengan menaiki kapal. Diduga, raja Jawa
yang menyerang adalah Rakai Panamkaran dari Mataram. Penyerbuan ini
diulangi lagi pada tahun 774 dan 787. Berita mengenai serangan dari
selatan ini juga terdapat dalam prasasti yang ditemukan di kawasan
yang sekarang termasuk Kamboja.

Ketika Tchen-la menguasai Asia Tenggara daratan, seorang bangsawan


dari Kamboja berhasil meloloskan diri ke Jawa. Setelah dididik dan
matang di Jawa, pada tahun 790 bangsawan ini kembali ke Kamboja.
Ketika kembali ke negeri asalnya, kerajaan di Jawa sedang guncang dan
Tchen-la sudah terpecah-pecah. Pada akhir abad VIII itulah ia
menyatukan seluruh Kamboja, mendirikan Kerajaan Angkor, dan
mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Jayawarman II (802-850
Masehi).

Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun


799 Masehi menyebutkan tentang selesainya pemugaran kuil
Bhadradhipatiswara, yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan
dibakar oleh satu pasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada
tahun 774 Masehi, Campa juga pernah mendapat serangan dari orang-
orang yang datang dari Jawa.

Menjelang akhir abad IX Masehi, sebuah dinasti baru memerintah di


Campa dengan pusat pemerintahannya di Indrapura (sekarang bernama
Quang-nam, Vietnam). Pendiri dinasti adalah Indrawarman I (877-889
Masehi). Raja ini dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha
Mahayana yang taat.

Selama pemerintahannya ia berjasa membangun kompleks Dong-duong.


Diketahui pula bahwa raja ini dan para penggantinya telah menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara
(Indonesia). Karena itulah banyak arsitektur Campa yang dipengaruhi
oleh gaya arsitektur bangunan candi Jawa Tengah.

Pada akhir abad VIII dan awal abad IX, Jawa telah dapat menanamkan


pengaruhnya di Kamboja hingga beberapa waktu lamanya. Akibat dari
pengaruh budaya itu terdapat pula perubahan gaya seni pada bangunan,
misalnya bangunan-bangunan di Phnom Kulen.

Sekalipun pengaruh budaya Jawa telah “tertanam” di Asia Tenggara


daratan, namun secara politis ada usaha untuk melepaskan diri dari
pengaruh Jawa. Sebuah upacara sakral dilakukan oleh Jayawarman II
dengan cara menobatkan dirinya sebagai “raja gunung” dan penguasa
universal di Mahendraparwata (Phnom Kulen). Dengan upacara dasar
tersebut ia menjadi seorang penguasa yang universal dan tidak lagi
tergantung pada Jawa.

Agama Buddha

Agama Buddha meluas pemeluknya pada abad VII-X Masehi. Pada waktu itu
sebuah kerajaan yang kuat dan berpengaruh di Asia Tenggara adalah
Sriwijaya. Kerajaan ini selain dikenal sebagai kerajaan maritim, juga
dikenal sebagai kerajaan yang andilnya cukup besar dalam perkembangan
agama Buddha.

Pendeta Buddha dari berbagai bangsa datang ke Sriwijaya untuk


mempelajari tata bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan pelajarannya
ke Nalanda di India. Bahkan, Atisa—seorang pendeta Buddha dari Tibet—
menyempatkan diri untuk memperdalam agama Buddha di Sriwijaya.

Pada sekitar tahun 775 Masehi, Rakai Panamkaran dari Dinasti


Sailendra yang dikenal dengan julukan “Pembunuh musuh-musuh yang
gagah berani” mendirikan Trisamaya Caitya untuk pemujaan kepada
Padmapani, Sakyamuni, dan Wajrapani di Ligor (Thailand Selatan).
Pengaruh Sriwijaya di Thailand Selatan cukup kuat, tampak pada gaya
seni arca yang ditemukan di kawasan ini. Banyak arca Buddha dan
Bodhisattwa yang dikatakan berlanggam Sailendra, Sriwijaya, atau
kadang-kadang disebut berlanggam Semenanjung.

Ketika di belahan barat Nusantara berkembang agama Buddha Mahayana


(abad VII-IX Masehi), di Asia Tenggara daratan sebagian besar
masyarakatnya memeluk agama Hindu aliran Siwa. Agama Buddha mulai
berkembang pada sekitar abad XI Masehi. Ketika itu di Burma terdapat
Kerajaan Dwarawati dengan rajanya Anoratha. Raja ini memerintahkan
pembangunan kompleks pagoda di Pagan untuk agama Buddha Theravada. Di
kompleks itu tinggal para biksu dan biksuni.

Di Kerajaan Angkor, ketika diperintah oleh Suryawarman I (1002-1050


Masehi; seorang Pangeran Ligor, Dwarawati), pintu perkembangan agama
Buddha Mahayana terbuka lebar. Secara pribadi ia pemeluk agama Siwa
yang melanjutkan kultus dewaraja seperti para pendahulunya. Pada masa
pemerintahannya agama Buddha berkembang secara luas di Asia Tenggara
daratan.

Dalam konteks kekinian, konflik di kawasan tersebut terjadi karena


tidak tercapainya saling mengerti dan saling menghargai di antara
berbagai kebudayaan.

Berkaca pada kejadian-kejadian sejarah masa lampau, sudah saatnya


Deklarasi Borobudur diimplementasikan untuk tujuan perdamaian melalui
diplomasi kebudayaan dan kunjungan wisata ziarah agama Buddha dan
wisata budaya. Sekaligus membuktikan bahwa Indonesia juga
memfasilitasi agama lain yang berdasarkan jumlah penganutnya termasuk
minoritas.

9 Comments



Ada Apa dengan (Dua) Hari Raya?

March 4, 2007 at 5:29 am (Pluralisme) 

Oleh Syaifullah Amin
Peneliti Religious and Cultural Studies, Pesantren Ciganjur
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/21/opini/3044533.htm
=============================

Berakhirnya bulan Ramadhan merupakan saat yang dinanti- nanti umat


Muslim, terutama di Indonesia.

Maka, warga Muhammadiyah bersorak saat pimpinan pusat- nya menyatakan


hari raya Idul Fitri jatuh lebih awal dari yang dijadwalkan. Idul
Fitri yang disemboyankan sebagai hari kemenangan segera disongsong.

Keputusan Muhammadiyah melalui Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Din Syamsuddin untuk berlebaran hari Senin (23/10)—dengan menghitung
bulan Ramadhan hanya 29 hari—merupakan bentuk kemandirian umat.
Landasan hisab falakiyyah (hitungan astronomi) hasilnya sering
berbeda dengan fakta lapangan yang didasarkan rukyat hilal (melihat
bulan sabit pergantian bulan).

Perbedaan

Perbedaan ini disebabkan hilal (bulan sabit) seharusnya sudah tampak,
sebagaimana argumen matematis ahli hisab (yang mengandalkan hitungan
perputaran bulan dan bumi atas matahari), tetapi tidak seorang pun di
antara tim ahli rukyat (yang lebih memilih melihat langsung kejadian
di lapangan) melihatnya atau mereka berbeda pendapat mengenai
posisinya. Fenomena demikian memang bukan hal baru di Indonesia. Hari
raya Idul Fitri bisa berbeda bagi tiap kelompok masyarakat Muslim.

Dua kubu besar ini, yakni tim ahli hisab dan para perukyat, sering


berbeda pendapat mengenai penetapan hari raya.

Banyak argumen klasik yang dikemukakan dan budaya saling bantah tak


pernah dapat ditinggalkan. Namun, tak pernah sedikit pun terjadi
pergeseran sikap menuju perbaikan pemahaman (baca: persatuan) di
antara sesama kelompok Muslim. Alih-alih berusaha menenggang
perbedaan, yang terjadi justru menegaskan batas dan identitas masing-
masing untuk menunjukkan eksistensi diri dan kelompok.

Sebenarnya bisa saja terjadi dua hari raya di Indonesia, baik secara


matematis ilmiah maupun kebenaran sakral doktrin agama, mengingat
panjang bentang wilayah Nusantara dari wilayah timur di Papua hingga
ujung barat pantai Aceh. Namun, kenyataannya, di Indonesia belum
pernah terjadi dua hari raya Idul Fitri dengan alasan wilayah
geografis. Justru yang selalu terjadi adalah ada dua hari raya dengan
alasan ideologis, antara orang-orang yang konon disebut tradisional
dan mereka yang mengklaim diri Muslim modern atas dasar fanatisme
demi menjaga prestise golongan.

Selama 29 atau 30 hari

Sebagaimana diakui Din Syamsuddin, sebenarnya di beberapa wilayah,
tentu saja yang lebih barat seperti Pulau Jawa dan Sumatera, hilal
(kemunculan bulan sabit) belum dapat terjadi. Hanya saja, karena
alasan politis (kekuasaan), ormas merasa berhak menyatukan hari raya
dengan mengesampingkan peran negara yang tentu saja tidak asal-
asalan.

Bias ideologi inilah yang menarik dipertanyakan, mengapa lebih


memilih menyatukan dua hitungan hari daripada menjaga obyektivitas
matematis ilmiah dan mengesampingkan persatuan umat Muslim Indonesia.

Di sisi lain, masyarakat Muslim tradisional cenderung lebih suka


memilih kehati-hatian dengan sering menggenapkan hitungan Ramadhan
menjadi 30 hari. Dalam hal ini, mereka mengedepankan substansi hadis
Fain ghumma ‘alaikum faakmilul ‘iddah (jika penglihatan pada hilal
terhalang, hendaknya kalian menggenapkan hitungan).

Sederhananya, rasio doktrinal adalah, seandainya bulan Ramadhan hanya


29 hari, dapat dianggap telah terjadi suatu kesalahan. Namun, jika
yang benar adalah 30 hari dan mereka hanya berpuasa 29 hari, kapankah
kekurangannya akan disusulkan? Seperti biasa, masyarakat Muslim
tradisional lebih memilih menggenapkannya menjadi 30 hari.

Kebenaran kelompok

Meski validitas dari masing-masing cara, baik rukyat maupun hisab,
sangat relatif, hasil ini kemudian diyakini sebagai kebenaran
kelompok, lebih dari apa pun. Bahkan, negara pun dianggap tidak
berhak melakukan intervensi mengenai penetapan hari raya ini. Negara
hanya dapat menentukan kapan para pegawai kantor libur dan bekerja
kembali. Selebihnya, mengenai kapan dan di mana shalat Idul Fitri
dilaksanakan menjadi wewenang masing-masing lembaga agama.

Uniknya, tradisi berbeda ini diyakini beberapa kalangan sebagai ciri


sekaligus cara survive masyarakat Muslim Nusantara dalam melestarikan
dan mengembangkan keyakinannya dari masa ke masa.

Akibatnya, turun-temurun kesadaran untuk melestarikan perbedaan pun


mengakar. Tidak puas jika hari raya tidak berbeda. Bahkan, pertanyaan
di antara sesama kelompok agamawan sering terdengar agak
miring, “Apakah hari raya tahun ini akan sama?” atau “Kelompok mana
yang berhari raya lebih dulu?”

Siklus “tiga tahunan” ini telah menjadi bagian integral keberagamaan


sekaligus simbol abadi keberagaman masyarakat Muslim Indonesia.
Pemerintah Orde Baru pun tidak sanggup menyatukan dua keyakinan ini,
apalagi fatwa haram MUI yang sering diabaikan daripada ditaati.

Dalam hal ini tidak perlu fatwa haram karena telah dianggap lumrah


sebagai perkara furuiyyah semata kendati dalam banyak kitab fiqh,
dinyatakan haram berpuasa pada hari raya dan jelas tidak mungkin
terjadi dua kali Idul Fitri dalam setahun.

Harapan yang layak dikemukakan adalah, kapankah masyarakat Muslim


Indonesia dapat menghargai perbedaan dalam skala lebih luas. Bukan
sekadar saling menghargai saat berbeda hari raya, tetapi juga saling
menghargai saat berbeda pendapat dari sisi pemahaman keagamaan dan
akidah. Mereduksi segala tindak anarkisme dan peminggiran kelompok
sebagaimana dapat menghargai perayaan hari raya Idul Fitri yang tidak
kompak.

3 Comments



Pluralisme Ada sejak Prasejarah

March 4, 2007 at 5:29 am (Pluralisme) 

Eksklusivisme Kelompok Ingkari Keindonesiaan
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/28/utama/3130414.htm
=====================

Jakarta, Kompas – Pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini


sudah muncul sejak kehadiran manusia purba di Nusantara. Bukti-bukti
arkeologis menunjukkan, keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak
prasejarah itu telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan
fisik manusia dan budaya Indonesia.

“Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan sebuah


keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tidak terbantahkan,”
kata Harry Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari
Puslitbang Arkeologi Nasional, ketika dikukuhkan sebagai profesor
riset di Jakarta, Senin (27/11).

Bersamaan pengukuhan Harry Truman Simanjuntak, Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengukuhkan Naniek Th
Harkantiningsih Wibisono dan Harris Sukendar sebagai profesor riset
untuk bidang arkeologi. Sidang pengukuhan dipimpin Kepala LIPI Umar A
Jeanie.

Dalam uraiannya, Truman Simanjuntak memaparkan rangkaian terciptanya


apa yang kini disebut pluralisme dan multikulturalisme. Latar
belakang terjadinya pluralisme dan multikulturalisme di Nusantara,
yang merupakan sejarah panjang terbentuknya keindonesiaan, ia
gambarkan secara detail lewat berbagai “persentuhan” budaya pada masa
prasejarah.

Temuan-temuan fosil dari lapisan plestosen bawah di Sangiran,


misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitu
pun jenis dan bahan peralatan yang digunakan. Kompleksitas masyarakat
juga tampak di bidang sosial.

“Salah satu keragaman budaya yang paling menonjol pada bahasa, yang


merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal, Austronesia.
Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara
merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar
budaya bangsa Indonesia,” paparnya.

Kompleksitas kehidupan dan interaksi masyarakat dengan “dunia luar”


telah pula ikut menciptakan kompleksitas budaya.

“Kalau sekarang muncul eksklusivisme kelompok yang kian menonjol, di


mana rasa persaudaraan dan semangat kebersamaan semakin hilang, dan
konflik-konflik sosial yang menafikan kemajemukan muncul di berbagai
tempat, semua itu terjadi karena sebagai bangsa kita kurang memahami
fondasi keindonesiaan,” paparnya. (ine/ken)

2 Comments



Borobudur dan Buddha, Refleksi Hidup Damai

March 4, 2007 at 4:56 am (Pluralisme) 

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/01/humaniora/3282626.htm
====================

Jakarta, Kompas – Candi Borobudur sebagai bagian dari agama Buddha


dapat menjadi refleksi dalam membangun kehidupan yang damai.

“Dengan melongok ajaran lain, maka kita akan lebih mengenal agama


lain. Pengalaman itu dapat disintesiskan dengan ajaran yang dianut
dan memunculkan kesadaran baru, terutama dalam dialog antaragama,”
ujar Marselli Sumarno dalam diskusi dan pemutaran film dokumenter
yang ia sutradarai, Sang Buddha Bersemanyam di Borobudur, di Bentara
Budaya Jakarta, Rabu (31/1).

Menurut Marselli, dalam pembuatan film tersebut bukan perbedaan yang


ia lihat, melainkan persatuan serta adanya pertemuan-pertemuan.
Pertemuan tersebut antara lain ajaran kasih atau welas asih yang
nyata dalam ajaran Buddha. Pertemuan lain yang diamati ialah betapa
setiap agama mempunyai praktik meditasi dengan caranya masing-masing.

“Melihat pertemuan-pertemuan tersebut, menjadi sangat penting


mengenal agama lain, terlebih lagi di tengah kerapuhan dialog
antarumat beragama,” ujar Marselli, Dekan Fakultas Film dan Televisi,
Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ).

Budayawan Mudji Sutrisno yang hadir dalam diskusi itu mengatakan,


dalam ajaran agama Buddha di Nusantara sudah terjadi
inkulturasi. “Ketika religiositas masuk ke sebuah daerah atau lokal,
maka yang muncul ialah wajah budaya,” ujarnya.

Lebih toleran

Film yang digarap Marselli ini, menurut Mudji, merangkum antara teks
suci dan kontekstualisasi isinya. Tafsiran tentang Borobudur dapat
banyak diterjemahkan.

“Agama-agama bumi cenderung lebih toleran karena mereka hidup dari


bumi dan berutang kepada bumi. Mereka menyatu dengan ekologi dan
alam. Sementara dalam agama wahyu terkadang ada yang meminjam
wewenang teks kitab suci dengan tafsirannya untuk mengatakan yang
paling benar dan keinginan meniadakan yang lain,” ujarnya.

Marselli melihat Borobudur sebagai buku terbuka tentang ajaran agama


Buddha karena begitu banyak makna yang terpahat pada relief-relief
patung maupun susunan bentuk lainnya. Melalui film dokumenter yang
digarap secara puitis, Marselli ingin menyampaikan rangkuman sejarah
candi, peringatan Waisak sekaligus tentang ajaran Buddha, serta apa
yang disebut pencerahan dengan benang merah meditasi itu sendiri.
Kemasan audio visual berupa film dokumenter ini merupakan sumbangan
tafsir artistik atas ajaran Buddhisme lewat keberadaan Candi
Borobudur.

Film tersebut terutama merekam saat-saat meditasi para pemeluk


Buddha. Marselli mengatakan, selain film ini terdapat pula film
Mekarnya Agama Buddha di Indonesia, yang menceritakan sejarah agama
Buddha di Nusantara. Marselli sebelumnya membuat belasan film
dokumenter dan menyutradarai film cerita berjudul Sri pada tahun
1999. (INE)

1 Comment



Melampaui Toleransi?

March 4, 2007 at 4:00 am (Pluralisme) 

Oleh TRISNO S SUTANTO
Direktur Program Madia (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Jakarta
===

Merenung Bersama Walzer

Agaknya sudah klise jika dikatakan bahwa toleransi merupakan
persoalan hidup-mati bagi masyarakat yang sangat majemuk seperti
Indonesia. Akhir-akhir ini, dengan semakin menguatnya kecenderungan
konservatisme serta radikalisasi pandangan maupun praktik-praktik
keagamaan, toleransi jadi pertaruhan ultim, apalagi jika persaingan
antarkelompok sudah menohok tradisi dan pergulatan paham keagamaan.
Di situ sang liyan (the other) cenderung dipersepsi sebagai orang
asing (stranger), atau bahkan musuh (lebih halus: pesaing) dalam
ranah perebutan jumlah umat sehingga hak-hak konstitusionalnya tidak
layak dibela.

Seperti pernah ditunjukkan dengan bagus oleh David Lochhead dalam


karya klasiknya mengenai imperatif dialogis yang lahir dari
perjumpaan antariman (1988), akar-akar kecurigaan ini tertanam sangat
dalam, malah menjadi bagian melekat dalam pembentukan identitas
keagamaan. Di dalam setiap tradisi keagamaan, menurut Lochhead,
selalu terkandung benih-benih ideologi dan/atau teologi yang bersifat
isolasionis (tiap agama hidup dan berkembang dalam ghetto-nya sendiri-
sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing
yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang
berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan). Batas-batas ketiganya
sangatlah tipis dan kabur, apalagi ketika dikaitkan dengan logika
dakhil kekuasaan yang ada dalam setiap tradisi keagamaan.

Karena itu, sekalipun semua agama mendaku bahwa risalahnya ditujukan


bagi seluruh umat manusia, dibutuhkan waktu panjang dan perjuangan
yang bersimbah darah agar tradisi-tradisi keagamaan dapat menerima
paham kemanusiaan universal yang mampu mengatasi paham orang kita
versus orang asing. Kesadaran bahwa semua manusia, apa pun latar
belakang warna kulit, jenis kelamin, maupun keyakinan yang dipeluknya
memiliki keluhuran martabat yang harus dilindungi, dibela, dan
diperjuangkan hanya lamat-lamat memasuki kesadaran keagamaan—bahkan
dalam banyak hal masih diperdebatkan sampai sekarang.

Di dalam konteks seperti itu esai provokatif Michael Walzer, On


Toleration (1997), dapat membuka banyak ranah problematis yang
menantang jika persoalan toleransi mau dibicarakan secara serius.
Saya tidak ingin meringkas teks yang sudah padat itu di sini, tetapi
mengambil beberapa rajutan persoalannya sebagai titik berangkat untuk
memeriksa praktik-praktik toleransi.

Rezim-rezim toleransi

Walzer mengambil pendekatan berbeda ketimbang para pemikir yang sibuk
mencari kaidah-kaidah universal. Baginya praktik-praktik toleransi—
atau, sederhananya, koeksistensi damai kelompok-kelompok masyarakat
yang memiliki sejarah, budaya, dan identitas berbeda—harus selalu
diletakkan dalam situasi historis-konkret. Soalnya, koeksistensi
damai itu dapat mengambil bentuk pengaturan politik yang berbeda-
beda, masing-masing dengan implikasinya sendiri-sendiri. Bagaimana
pengaturan politik yang terbaik sudah tentu sangat ditentukan oleh
sejarah dan budaya masyarakat yang hendak diatur.

Namun, apa yang dimaksud jika seseorang atau suatu kelompok


menoleransi orang atau kelompok yang lain? Apa yang dimaksud jika
orang berbicara mengenai koeksistensi damai? Toleransi sebagai suatu
sikap, menurut Walzer, merujuk pada berbagai matra di dalam suatu
garis kontinum begini. Pertama, yang mencerminkan toleransi keagamaan
di Eropa sejak abad ke-16 dan ke-17 adalah sekadar penerimaan pasif
perbedaan demi perdamaian setelah orang merasa capek saling
membantai. Jelas ini tidak cukup dan karenanya dapat dicandra gerak
dinamis menuju matra kedua: ketidakpedulian yang lunak pada
perbedaan. Di situ sang liyan diakui ada, tetapi kehadirannya tidak
bermakna apa-apa. Matra ketiga melangkah lebih jauh: ada pengakuan
secara prinsip bahwa sang liyan punya hak-hak sendiri sekalipun
mungkin ekspresinya tidak disetujui. Matra keempat bukan saja
memperlihatkan pengakuan, tetapi juga keterbukaan pada yang lain,
atau setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat memahami sang liyan.
Posisi paling jauh dalam kontinum ini, yakni matra kelima, tidak
sekadar mengakui dan terbuka, tetapi juga mau mendukung, atau bahkan
merawat dan merayakan perbedaan, entah karena alasan estetika-
religius (keragaman sebagai ciptaan Allah) entah karena keyakinan
ideologis (keragaman merupakan tanah subur bagi perkembangan umat
manusia).

Walzer mengakui matra kelima itu berada di luar fokus bahasannya.


Yang menjadi pusat perhatiannya adalah bagaimana pengaturan politik
terbaik yang dapat menjaga koeksistensi damai antarkelompok. Untuk
itu dia melacak alur-alur historis apa yang disebutnya sebagai rezim-
rezim toleransi dalam sejarah Barat yang memberinya tipe ideal (dalam
artian Weber) bagaimana praktik-praktik konkret toleransi
berlangsung. Tanpa perlu mengikuti lika-liku argumentasinya yang
rumit dan kaya, kelima tipe ideal yang dikemukakan Walzer—kerajaan
yang bersifat multinasional, masyarakat internasional,
konsosiasional, negara-negara bangsa, dan masyarakat pendatang—
membuka ranah problematis yang sangat kompleks.

Ringkasnya begini: sejarah peradaban Barat yang dikaji Walzer


memperlihatkan bahwa kerajaan yang bersifat multinasional merupakan
tipe ideal yang paling lama bertahan. Di situ pusat kekuasaan masih
utuh dan diwariskan turun temurun, yang menjadi penjamin stabilitas
dari teritori yang mencakup berbagai wilayah dan bangsa (karena itu
disebut: multinasional). Bangkitnya paham negara-bangsa setelah
Reformasi Protestan menjadikan tipe ideal ini kehilangan landasannya.
Negara-bangsa juga membawa pergeseran paling penting dalam obyek
toleransi, yang akan dibicarakan lebih jauh di bawah ini.

Sementara itu, masyarakat internasional berangkat dari pengaturan


kedaulatan negara masing-masing (warisan perjanjian damai Westphalia
1648) yang sekaligus membatasi intervensi suatu negara terhadap
kedaulatan negara lain. Sebaliknya, sistem konsosiasional menambahkan
elemen kewargaan bersama sebagai obyek toleransi, dan karena itu
membuka kemungkinan intervensi negara untuk melindungi hak-hak
individu. Penekanan terhadap hak-hak individu sebagai individu
semakin berkembang dalam masyarakat pendatang, yang dewasa ini—dengan
arus globalisasi—menjadi fenomena dan tantangan paling menentukan di
masa mendatang.

Beberapa simpulannya patut dibicarakan lebih jauh. Saya akan


membatasi pada tiga aspek krusial.

Tiga persoalan krusial

Pertama, perihal obyek toleransi. Kajian Walzer memperlihatkan baru
pada negara-bangsa, individu sebagai warga menjadi obyek toleransi.
Sejarah panjang kekuasaan memperlihatkan toleransi diberikan hanya
pada kelompok, bukan individu. Ini jelas terlihat pada sistem
kerajaan multinasional. Karena itu, kata Walzer, “transisi dari ranah
kerajaan kepada negara-bangsa yang merdeka merupakan titik kritis
dalam sejarah toleransi”.

Pergeseran obyek toleransi ini berimplikasi sangat jauh sebab untuk


pertama kalinya, toleransi diberikan pada individu dengan seluruh hak-
haknya, dan bukan hanya sebagai anggota kelompok tertentu. Pada
sistem kerajaan dengan kekuasaan yang lebih kurang terpusat walau
teritorinya dapat mencakup berbagai bangsa (seperti Pax Romana,
Kesultanan Ottoman, Kerajaan Majapahit dstnya), menurut Walzer,
identitas individu cenderung dilihat dan dihargai hanya sebagai
bagian dari identitas kelompok di mana individu itu menjadi
anggotanya. Sistem ini menoleransi praktik-praktik maupun struktur
kewenangan kelompok masing-masing, tetapi bukan tindakan dan pilihan
individu per orangan, yakni individu sebagai lelaki dan—apalagi!—
perempuan yang mandiri.

Sistem millet Kesultanan Ottoman adalah contoh par excellence soal


ini yang sering disebut sebagai preseden penting model toleransi
antarumat beragama. Di situ masing-masing komunitas agama (kata
millet memang berarti komunitas agama) yang ada—baik Islam, Kristen
Ortodoks, maupun Yahudi—diakui sebagai satuan yang memerintah diri
sendiri dan diperkenankan menerapkan hukum agama yang restriktif
terhadap individu-individu anggotanya, sekaligus tunduk pada
pemerintahan Islam Kesultanan Ottoman. Namun, di sini individu tidak
memiliki hak untuk berbeda, atau mengambil tindakan sendiri yang
bebas sesuai dengan hati nuraninya.

Ini sangat jelas terlihat, seperti pernah ditunjukkan oleh Kymlicka


yang bukunya sudah diterjemahkan di sini (2003) pada dua matra
kebebasan berkeyakinan yang selalu menjadi persoalan toleransi
antarumat beragama: hak individu untuk memilih agama atau keyakinan
sesuai dengan hati nuraninya, dan hak individu untuk memiliki
pemahaman yang berbeda. Sistem millet tidak memungkinkan baik praktik
bidah (mempertanyakan tafsir yang dominan) maupun murtad (memilih
keyakinan yang berbeda). Keduanya akan dipandang sebagai kejahatan
yang harus dihukum, bahkan dihukum mati.

Diskusi di atas mengantar kita pada aspek krusial kedua: perihal


kekuasaan. Praktik toleransi pada dasarnya adalah praktik kekuasaan.
Walzer mengutip adagium Stephen L Carter (1993) yang mahsyur bahwa
the language of tolerance is the language of power. Dalam sistem
kerajaan, kekuasaan yang terpusat menjamin keberlangsungan tatanan
yang ada. Sistem millet pada dasarnya adalah upaya menjaga tatanan
(harmoni) yang sudah ada lewat politik pembekuan identitas. Munculnya
negara-bangsa menggeser pusat kekuasaan dan menempatkannya pada
kelompok mayoritas yang akan menggunakan perangkat-perangkat negara
demi menjaga kepentingan mereka.

Baru pada negara-bangsa persoalan mayoritas-minoritas mencuat ke


permukaan dan menambah kompleks persoalan praktik toleransi. Memang
dalam sistem negara-bangsa, pada prinsipnya tidak ada pemaksaan
terhadap individu. Akan tetapi, setiap individu mengalami tekanan
untuk menyesuaikan diri, yakni berasimilasi dengan nilai-nilai,
budaya, adat maupun langgam kehidupan kelompok mayoritas yang
dominan. Persoalannya menjadi jauh lebih kompleks jika keragaman
kelompok—perbedaan budaya, etnisitas, atau ras—bertumpang tindih
dengan ketimpangan kelas sosial-ekonomi. Sejarah mencatat dalam
situasi seperti ini, praktik-praktik intoleran bisa berlangsung
sangat destruktif.

Ketiga: persoalan identitas yang fragmentaris. Sistem millet


sesungguhnya merupakan politik pembekuan identitas. Sebagai anggota
suatu kelompok (etnisitas, ras, agama, adat, dst), identitas
seseorang dianggap sama dengan identitas kelompoknya dan dipandang
sebagai sesuatu yang tunggal, utuh, sudah baku, dan tidak dapat
berubah. Karena itulah orang tidak dapat menyeberangi batas-batas
identitasnya yang sudah dipatok dengan jelas. Politik pembekuan
identitas semacam itulah yang sesungguhnya membuat kekuasaan di pusat
dapat menjamin keberlangsungan tatanan sekaligus melanggengkan
kekuasaan rezim penguasa. Akan tetapi, sistem ini tidak dapat
bertahan di tengah gelombang perpindahan penduduk yang dewasa ini
semakin kuat karena arus modernisasi (migrasi internal dalam suatu
negara) maupun globalisasi (migrasi antarnegara). Bahkan, arus
globalisasi juga mengajukan tantangan fundamental pada sistem negara-
bangsa dan mendorong apa yang disebut Walzer sebagai “proyek
pascamodern”. Untuk memahaminya, kita harus mundur sejenak.

Melampaui toleransi?

Walzer mengingatkan dua bentuk praktik toleransi yang berkembang
dalam sistem negara-bangsa, yakni asimilasi individu dan pengakuan
hak-hak kelompok, pada dasarnya merupakan proyek utama politik
demokrasi modern. Di situ toleransi dilandaskan pada hak-hak individu
sebagai warga tanpa memandang keanggotaannya dalam suatu kelompok
primordial. Dengan itu, proyek modernis yang mau memasukkan semua
orang ke dalam sistem demokrasi (the politics of inclusion, memakai
istilah Habermas) dapat berlangsung. Namun, Walzer mengingatkan bahwa
proyek ini berwajah ganda: pada satu pihak ada pergulatan untuk masuk
menjadi warga yang setara, pada pihak lain—karena tuntutan hak-hak
kelompok, khususnya kelompok minoritas, untuk bersuara, memperoleh
tempat, dan menjalankan politiknya—dapat juga berarti pemisahan.

Globalisasi menjadikan masalah ini bertambah rumit dan akut. Arus


deras kaum pendatang mempersoalkan narasi-narasi dominan identitas
yang selama ini mempersatukan negara-bangsa dan menjungkirbalikkan
posisi serta relasi mayoritas-minoritas. Dalam tipe ideal kelima,
masyarakat pendatang, orang mulai mengalami apa yang selama ini
dibayangkan sebagai kehidupan tanpa batas-batas yang jelas—bukankah
batas-batas teritorial negara-bangsa sudah (hampir) tidak berarti
sekarang?—maupun tanpa identitas tunggal yang memberi rasa (ny)aman.
Semakin banyak orang mengalami, dengan percepatan teknologi
komunikasi dan transportasi sekarang, bahwa identitas mereka adalah
fragmen-fragmen yang tercerai-berai dari ikatan-ikatan lama yang
semakin hilang, tanpa kemungkinan menjadikan rangkaian fragmen itu
sesuatu yang utuh lagi. Hasilnya adalah suatu identitas yang
fragmentaris, yang dipersatukan hanya oleh garis sambung, a
hyphenated identities!

Ini sudah tentu menambah kompleksitas persoalan toleransi sebab di


situ toleransi harus sekaligus mencakup beberapa tataran: sebagai
warga negara-bangsa (walau batas-batas teritorialnya semakin kabur),
sebagai anggota kelompok primordial (yang ikatan dan pesonanya makin
menghilang), maupun sebagai pribadi yang identitasnya majemuk,
fragmentaris, tidak pernah utuh dan tunggal. Walzer menjuluki
persoalan itu sebagai proyek pascamodernis yang, menurut saya, akan
semakin menjadi persoalan kita semua di masa mendatang.

Saya tidak ingin memasuki persoalan itu secara rinci di sini. Namun,


setidaknya tuturan di atas memperlihatkan bahwa konsep toleransi itu
sendiri tidaklah memadai untuk menangani kompleksitas persoalan yang
ada. Seorang pemikir Kristen Koptik dari Mesir, Milad Hanna (2005),
mengingatkan bahwa toleransi, yang sering diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab sebagai al-tasâmuh, selalu mengandaikan relasi kuasa yang
tidak seimbang sebagai konteksnya. (Ingat diktum di atas: bahwa the
language of tolerance is the language of power.) Karena itu, ia
mengusulkan istilah baru, qabûlul âkhar, ‘menyongsong sang liyan’,
yang lebih aktif dan egaliter sebagai bahasa baru toleransi. Kata
Hanna, “Kata al-tasâmuh hanya bermakna ketika ada suatu pihak
bersalah, lalu pihak lain menenggang rasa. Sedangkan qabûlul âkhar
bermakna lebih dalam dan lebih aktif: menerima dan menyongsong orang
lain, tidak sekadar bertenggang rasa.”

Namun, dengan itu pula, kita sudah menyeberangi batas-batas yang


didirikan Michael Walzer dan merambah ranah problematis baru yang
harus kita bicarakan dan arungi bersama.

Leave a Comment



Yüklə 114,58 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©www.genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə